Oleh: Madad
Salim
Dulu, orang-orang Shalih di
tempat saya, jika terdengar kata Zuhud, maka sosok yang paling cepat terlintas
dibenak mereka adalah Kyai Muhammadun. Karena memang begitulah kenyataannya.
Beliau diciptakan seakan-akan bukan untuk melayani kemewahan Duniawi. Bersahaja
hidupnya, apa yang santri makan itu pula yang beliau dan orang-orang rumah
beliau makan.
Beliau melayani kebutuhan anak
istrinya dengan tangan beliau sendiri. Setiap malam, sebelum fajar datang
beliau menimba air dan memanaskannya untuk keperluan mandi Bu Nyai.
Kadang-kadang beberapa santri
mencoba “merebut” wadzifah harian beliau ini. “Biar kami saja yang menimba, Yai
“Kata santri. Namun beliau menolak halus.
“Tidak, biarkan aku yang menimba.
Kalian itu tahu tidak, siapakah Bu Nyai yang menjadi Istriku itu? Bukankah dia
itu anaknya Kyaiku. Aku setiap malam menimba itu aku niati khidmah sama
putrine Kyaiku “
Secara dhahir, maisyah Mbah Madun
itu ' tidak ada '. Kerjaannya setiap hari hanya mengajar santri di pesantren
dan berdakwah kepada Masyarakat. Tetapi keyakinan soal rejeki yang ditanamkan
beliau kepada para Santri itu sangat Khas Kyai. Kata beliau:
“Angger Alfiyahe di kebuk,
metu duwite...“
Artinya, asal tetep mengajarkan
ilmu, rejeki datang-datang sendiri. Waman yattaqillaha yaj'al lahu makhrojan
wayarzuqhu min khaitsu la yahtasib.
Pernah kejadian, jatah beras di
dapur habis. Ibu nyai sudah waswas. Kalau dibiarkan, esok hari penghuni rumah
bisa tidak makan semua. Namun Mbah Madun tetep santai. Kegiatan harian beliau
tetap beliau jalankan seperti biasa. Dan fajar hatinya, saat pulang jama'ah
Shalat Subuh, beliau mendapati ada satu karung beras tergeletak didepan pintu
rumah. Beliau panggil santri:
“Kang, masukkan beras ini ke
dapur. Biar seneng hatinya Bu Nyai...”
“Dari mana beras ini, Yi? “Tanya
seseorang.
“Tidak usah tanya. Ada di depan
pintu rumahku ya berarti beras ini milikku “
Saya tidak pernah bertemu
langsung dengan Mbah Madun. Hanya dua Kali, dan saat itu saya masih sangat
kecil. Pertama, saat beliau datang ke rumah kami untuk mengaqad-nikahkan Mbah
Yu saya. Dan yang kedua, saat beliau wafat. Kala itu saya juga masih bocah yang
pecicilan berlarian kesana kemari di rumah duka. Saya pun sempat berdiri
disamping jasad beliau yang bergiliran di shalatkan di ruang tamu.
Saya sekarang merasa beruntung,
kedua mata ini setidaknya pernah memandang Jasad beliau yang sedang dalam puncak
maqam Abdiyyahnya, maqam 'tertinggi ' orang-orang Shalih yang tidak jarang
mereka dapatkan saat mereka menghadap kepada Allah Ta’ala.
Saya berharap, andai di akhirat
kedua mata saya ditanya Malaikat, apa yang kamu lakukan saat kamu di dunia?
Kedua mata saya punya kesempatan untuk menjawab: “Pernah melihat Jasad Mbah
Muhammadun! “
Pada saat kewafatan beliau, saya
menyaksikan pemandangan yang mengharukan. Saya menyaksikan betapa Ibunda saya
mencintai Mbah Muhammadun sedemikian rupa. ibu saya menggandeng tangan saya
ikut menyusuri lorong kampung, dari Rumah duka menuju Masjid, mengantar jenazah
beliau. Sambil terus sesunggukan, meneteskan air matanya, Ibu
menggandeng saya, sampai jenazah Mbah Muhammadun hilang dari pandangan mata,
tertutup lautan manusia yang akan mensholati beliau didalam masjid.
“Ngger, Ngger. Karepku awakmu
arep tak pondokke neng nggene pondowan, eh saiki Mbah wis kapundut. Nasibmu,
ngger, kowe wis ora menangi Kyai sing Wirai. kiyai sing bener - bener Kyai”
tutur Ibunda saya.
Artinya., Nak... Pinginnya aku
memondokkan kamu ke Pondowan, tetapi kini Mbah Muhammadun sudah wafat. nasibmu,
Nak. Tidak lagi Kamu bisa menemui seorang Kyai yang wara', Kyai yang
sebetul-betulnya Kyai “
Begitulah kesan banyak orang
terhadap syahsyiyyah Mbah Kyai Muhammadun. Saya sendiri yakin, disekitar kita
masih banyak sosok -sosok yang seperti beliau. Baik yang masih hidup ataupun
yang sudah wafat. Namun, kehilangan satu sosok seperti beliau ini secara
lahiriyyahnya adalah sebuah bencana bagi kehidupan, karena kita yakin betul, Mautul
‘Alim Mautul ‘Alam. Kematian seorang Ulama sama artinya dengan kematian
semesta.
maka kini tinggal doa-doa yang
menjadi pelipurnya.
Allohummakhlufna khoran minhu.
Ya Allah. Berikanlah kami pengganti yang lebih baik dari dirinya.
jika tidak dapat yang lebih baik,
semoga kami tidak kehilangan keberkahannya.
ALLOHUMMAGH FIR LANA KAMA
GHOFARTA LAH.
WAQDHI HAJATINA KAMA QODHOYTA
HAJATAH.
WAAFIDH ALAYNA BAROJATIHI
WAASROROHU FID DUNYA WAL AKHIROH.
AMIN...AMIN...AMIN.
(SELESAI)
0 Comments