Kyai Wali Muhammadun Wafat (3)






Sumber Foto: Tarikh al-‘Alim al-‘Allamah al-Syaikh  al-Hajj Muhammadun bin ‘Ali Murtadlo rahimahullah (Sejarah KH. Muhammadun Pondowan Tayu Pati), Pati: Yayasan Kesejahteraan dan Pendidikan Islam Pondok Pesantren Darul Ulum, 1990

Sumber Foto: Tarikh al-‘Alim al-‘Allamah al-Syaikh  al-Hajj Muhammadun bin ‘Ali Murtadlo rahimahullah (Sejarah KH. Muhammadun Pondowan Tayu Pati), Pati: Yayasan Kesejahteraan dan Pendidikan Islam Pondok Pesantren Darul Ulum, 1990

Dulu, orang-orang Shalih di tempat saya, jika terdengar kata Zuhud, maka sosok yang paling cepat terlintas dibenak mereka adalah Kyai Muhammadun. Karena memang begitulah kenyataannya. Beliau diciptakan seakan-akan bukan untuk melayani kemewahan Duniawi. Bersahaja hidupnya, apa yang santri makan itu pula yang beliau dan orang-orang rumah beliau makan.
Beliau melayani kebutuhan anak istrinya dengan tangan beliau sendiri. Setiap malam, sebelum fajar datang beliau menimba air dan memanaskannya untuk keperluan mandi Bu Nyai.

Kadang-kadang beberapa santri mencoba “merebut” wadzifah harian beliau ini. “Biar kami saja yang menimba, Yai “Kata santri. Namun beliau menolak halus.
“Tidak, biarkan aku yang menimba. Kalian itu tahu tidak, siapakah Bu Nyai yang menjadi Istriku itu? Bukankah dia itu anaknya Kyaiku. Aku setiap malam menimba itu aku niati khidmah sama putrine Kyaiku “

Secara dhahir, maisyah Mbah Madun itu ' tidak ada '. Kerjaannya setiap hari hanya mengajar santri di pesantren dan berdakwah kepada Masyarakat. Tetapi keyakinan soal rejeki yang ditanamkan beliau kepada para Santri itu sangat Khas Kyai. Kata beliau:

Angger Alfiyahe di kebuk, metu duwite...“
Artinya, asal tetep mengajarkan ilmu, rejeki datang-datang sendiri. Waman yattaqillaha yaj'al lahu makhrojan wayarzuqhu min khaitsu la yahtasib.
Pernah kejadian, jatah beras di dapur habis. Ibu nyai sudah waswas. Kalau dibiarkan, esok hari penghuni rumah bisa tidak makan semua. Namun Mbah Madun tetep santai. Kegiatan harian beliau tetap beliau jalankan seperti biasa. Dan fajar hatinya, saat pulang jama'ah Shalat Subuh, beliau mendapati ada satu karung beras tergeletak didepan pintu rumah. Beliau panggil santri:

“Kang, masukkan beras ini ke dapur. Biar seneng hatinya Bu Nyai...”
“Dari mana beras ini, Yi? “Tanya seseorang.
“Tidak usah tanya. Ada di depan pintu rumahku ya berarti beras ini milikku “

Saya tidak pernah bertemu langsung dengan Mbah Madun. Hanya dua Kali, dan saat itu saya masih sangat kecil. Pertama, saat beliau datang ke rumah kami untuk mengaqad-nikahkan Mbah Yu saya. Dan yang kedua, saat beliau wafat. Kala itu saya juga masih bocah yang pecicilan berlarian kesana kemari di rumah duka. Saya pun sempat berdiri disamping jasad beliau yang bergiliran di shalatkan di ruang tamu.
Saya sekarang merasa beruntung, kedua mata ini setidaknya pernah memandang Jasad beliau yang sedang dalam puncak maqam Abdiyyahnya, maqam 'tertinggi ' orang-orang Shalih yang tidak jarang mereka dapatkan saat mereka menghadap kepada Allah Ta’ala.

Saya berharap, andai di akhirat kedua mata saya ditanya Malaikat, apa yang kamu lakukan saat kamu di dunia? Kedua mata saya punya kesempatan untuk menjawab: “Pernah melihat Jasad Mbah Muhammadun! “

Pada saat kewafatan beliau, saya menyaksikan pemandangan yang mengharukan. Saya menyaksikan betapa Ibunda saya mencintai Mbah Muhammadun sedemikian rupa. ibu saya menggandeng tangan saya ikut menyusuri lorong kampung, dari Rumah duka menuju Masjid, mengantar jenazah beliau. Sambil terus sesunggukan, meneteskan air matanya, Ibu menggandeng saya, sampai jenazah Mbah Muhammadun hilang dari pandangan mata, tertutup lautan manusia yang akan mensholati beliau didalam masjid.

Ngger, Ngger. Karepku awakmu arep tak pondokke neng nggene pondowan, eh saiki Mbah wis kapundut. Nasibmu, ngger, kowe wis ora menangi Kyai sing Wirai. kiyai sing bener - bener Kyai” tutur Ibunda saya.
Artinya., Nak... Pinginnya aku memondokkan kamu ke Pondowan, tetapi kini Mbah Muhammadun sudah wafat. nasibmu, Nak. Tidak lagi Kamu bisa menemui seorang Kyai yang wara', Kyai yang sebetul-betulnya Kyai “

Begitulah kesan banyak orang terhadap syahsyiyyah Mbah Kyai Muhammadun. Saya sendiri yakin, disekitar kita masih banyak sosok -sosok yang seperti beliau. Baik yang masih hidup ataupun yang sudah wafat. Namun, kehilangan satu sosok seperti beliau ini secara lahiriyyahnya adalah sebuah bencana bagi kehidupan, karena kita yakin betul, Mautul ‘Alim Mautul ‘Alam. Kematian seorang Ulama sama artinya dengan kematian semesta.
maka kini tinggal doa-doa yang menjadi pelipurnya.

Allohummakhlufna khoran minhu. Ya Allah. Berikanlah kami pengganti yang lebih baik dari dirinya.
jika tidak dapat yang lebih baik, semoga kami tidak kehilangan keberkahannya.
ALLOHUMMAGH FIR LANA KAMA GHOFARTA LAH.
WAQDHI HAJATINA KAMA QODHOYTA HAJATAH.
WAAFIDH ALAYNA BAROJATIHI WAASROROHU FID DUNYA WAL AKHIROH.
AMIN...AMIN...AMIN.

(SELESAI)

Post a Comment

0 Comments