Masjid Kauman Jekulo antara Tahun 1917-1969 |
Pernah K. Muhammad bin KH Yasin meng-imlak-kan biografi Waliyulloh Simbah sanusi kemudian dicatat oleh santri beliu, namun sayang manuskrip yg menyimpan tindak tanduk beliau yang mulia tersebut hilang entah kemana. Hanya beberapa lembar saja yg masih tersisa, Itu pun menerangkan beberapa keramatnya saja.
Beliau adalah KH. Sanusi yg dimakamkan di selatan Masjid Kauman Jekulo. Berasal dari desa Gili yg terletak di sebelah barat distrik Tenggeles. Beliau dilahirkan dari pasangan Bapak Ya'qub dan Ibu Sarijah. Semasa hidupnya beliau lebih dikenal dengan sebutan H. Sanusi Ali. Menurut keterangan lain, nama Ali tsb bukan nama asli melainkan laqob atau nama panggilan yg berasal dari kata Sanusi Kulon Kali. Kemudian anak-anak kecil sering menyebutnya dgn menyingkat Mbah Sanusi Kulon kali menjadi Mbah Sanusi Ali. Karena memang beliau mempunyai dua rumah, yang satu di dukuh Kauman yg berada di timur sungai Logung dan yg satunya lagi berada di sebelah barat sungai Logung, tepatnya di utara pasar Mbareng lama, dukuh Tambak Jaya.
Seperti kebanyakan para wali lainnya, beliau memulainya dengan suluk dan riyadloh. Pada masa remaja, beliau melakukan riyadloh dengan bertapa selama 40 hari tanpa bekal di puncak Argo Jimbangan, salah satu puncak yg berada di gunung Muria. Jika kita lihat dari bawah, Argo Jimbangan adalah gugusan paling timur dari deretan gugusan gunung Muria. Di sanalah Mbah Sanusi melakukan riyadloh, untuk menemukan rasa ing jati, rasa ing rasa, yaitu makrifat kepada Allah dengan cara mengenali diri sendiri.
Selama khalwat di puncak Argo Jimbangan, setiap lima waktu beliau selalu didatangi seekor macan, tapi bukan hendak memangsa beliau, melainkan membawakan bumbung bambu yg berisikan air untuk berwudlu. Maka setelah genap empat puluh hari beliau pun turun dan pulang ke rumah. Tatkala beliau pulang ini, ada cerita lucu. Tatkala itu, ibu Mbah Sanusi sedang menimba dengan menggunakan senggot, tiba-tiba saja senggot tsb terasa berat hingga ibu beliu tak mampu mengangkatnya. Si ibu pun berteriak-teriak minta tolong. Mengetahui hal itu Mbah Sanusi pun menampakkan diri dan berkata, "aku seng ganduli mbok", ternyata Mbah Sanusi yg tadi tidak menampakkan diri sambil memegangi senggot, bermaksud memamerkan kesaktian sekaligus bercanda dgn ibunya.
Sebagai seorang pemuka agama di desa Jekulo dan sebagai rujukan kyai setempat, terutama KH. Yasin, mertua sekaligus paman KH. Muhammadun Pondowan. Beliau juga mempunyai hubungan batin yang erat dgn Kiai Zubair Sarang Rembang. Sebagaimana yang diceritakan oleh bapak Ah. Saiq dari keterangan Kiai Muhammad. Bahwa Mbah Sanusi sering melakukan telekomunikasi batin dengan Kiai Zubair. Namun mengenai yang dibicarakan mereka berdua tidak ada keterangan yangg jelas. Tatkala KH. Hasyim As'ari hendak meminta ijin ke Habib Hasyim Pekalongan beliau juga bersinggah di waliyulloh Mbah Sanusi, sebelum akhirnya beliau mengantarkan Kiai Hasyim ke rumah Mbah Raden Asnawi Kudus. Dari cerita ini bisa ditarik kesimpulan bahwa beliau juga mempunyai hubungan yang erat dengan ulama-ulama di tanah jawa. Namun pada suatu ketika beliau ditanya oleh Kiai R. Asnawi, "mengapa NU tidak berkembang di Jekulo?" beliau tersenyum dan menjawab, "jarke mawon. malah seng sae ngoten." Mungkin karena ucapan beliau inilah pada akhirnya Kiai-kiai di Jekulo jarang ikut organisasi.
Sumber: PAC NU Jekulo
0 Comments