Buka Luwur di Menara Kudus Pada 10 Suro

Buka Luwur merupakan salah satu wujud dari hubungan Islam dengan tradisi setempat. Masyarakat Kudus mempunyai banyak sekali upacara tradisional yang khas. Misalnya, Dhandhangan, Bulusan, Tradisi Hutan Masin dan Buka Luwur.

Buka Luwur di Kudus terdapat di dua tempat yaitu di Muria dan di Masjid Menara. Buka Luwur di Muria dalam rangka memperingati wafatnya Sunan Muria sedangkan Buka Luwur di Masjid Menara dalam rangka peringatan wafatnya Sunan Kudus.Fenomena keagamaan seperti ini adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat, dan berasal dari sesuatu yang ghaib.

Penyelenggaraan upacara peringatan terhadap orang-orang yang sudah meninggal menjadi tradisi yang sangat kuat, terutama orang yang sudah meninggal tersebut adalah seorang tokoh terkenal dalam bidang agama dan kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah upacara yang dianggap sakral oleh masyarakat Kudus, yaitu upacara tradisional Buka Luwur yang kesemuanya itu dikemas dalam sebuah acara yang menarik

Buka luwur merupakan upacara peringatan wafatnya sunan Kudus atau disebut dengan “Khaul” yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram atau 10 Syura. Hal itu disebabkan karena pada tanggal tersebut dianggap keramat. Akan tetapi menurut seorang sesepuh Kudus yang menjadi ulama yang disegani oleh masyarakat Kudus, yaitu KH. Ma’ruf Asnawi yang telah berusia kurang lebih 90 tahun mengatakan bahwa upacara Buka Luwur itu sebenarnya adalah dalama rangka Khaul Mbah Sunan Kudus, yang memang tanggal 10 Muharram atau 10 Syura adalah tanggal wafat beliau.

Secara kronologis, sebenarnya proses upacara Buka Luwur diawali dengan penyucian pusaka yang berupa keris yang diyakini milik Sunan Kudus yang dilaksanakan jauh sebelum tanggal 10 Syuro, yaitu pada akhir Besar (nama bulan sebelum sebelum bulan Syura). Biasanya air bekas untuk mencuci keris tersebut yang dalam bahasa jawa disebut dengan “kolo”, diperebutkan masyarakat yang memiliki keris untuk mencuci kerisnya, karena menghrap “berkah” dari sunan Kudus. Kemudian pada tanggal 1 Syura dilakukan pencopotan kelambu atau kain putih yang menutupi makam. Kelambu atau kain putih itulah yang disebut dengan Luwur. Kelambu atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan masyarakat karena untuk mendapatkan “berkah”. Menurut K.H. Ma’ruf Asnawi, pernah pada waktu dulu kelambu atau kain putih penutup makam tidak diganti, kemudian timbul kebakaran pada kelambu tersebut.

Pada pagi hari tanggal 10 Muharram setelah Shalat Subuh dimulailah acara penggantian kelambu atau kain putih yang diawali dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan tahlil yang hanya khusus diikuti oleh para kyai, lalu mulailah pemasangan kelambu. Bersamaan dengan itu diadakan pembagian makanan yang berupa nasi dan daging yang sudah dimasak kepada masyarakat, yang dibungkus dengan daun jati. Masyarakat bersusah payah untuk mendapatkan nasi dan daging tersebut, sebab makanan tersebut dianggap memiliki berkah dan banyak mengandung kahsiat menyembuhkan penyakit, walaupun hanya mendapatkan sedikit. Nasi tersebut biasa disebut dengan “sego mbah sunan” (nasinya sunan kudus). Setelah acara penggantian kelambu dan pembagian nasi tersebut, berakhir sudah upacara Buka Luwur.

Berbicara masalah upacara tradisional Buka Luwur tentu tidak terlepas dari konteks kebudayaan. Keterkaitan antara kebudayaan dan masyarakat tampak jelas. kebudayaan mengatur kehidupan manusia agar mengerti dan mampu memahami bagaimana ia harus bertindak, berbuat dan menentukan sikap dalam hubungan dengan orang lain. Masyarakat dan kebudayaan senantiasa berkembang dan mengalami perubahan seiring dengan peradaban manusia.Mengatur hubungan antara manusia, kebudayaan menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan apa yang dilarang dan lain-lain.

Berdasarkan uraian tersebut, religiusitas nampak dengan jelas pada nasi dan daging yang dibagikan pada saat pemasangan Luwur yaitu tanggal 10 Muharram pada waktu pagi. Dan wajar kalau masyarakat mempunyai keinginan yang kuat untuk mendapatkan nasi terasebut meskipun hanya sedikit, karena untuk mendapatkan berkah. Kemudian adanya ziarah dengan membaca tahlil yang dilakukan oleh khusus para kiyai, merupakan perwujudan dari religius.


Sumber: Kompasiana

Post a Comment

0 Comments