Buka Luwur merupakan upacara untuk memperingati haul Sunan Kudus. Istilah haul
Sunan Kudus tidak digunakan karena pengertian haul berorientasi pada peringatan
wafatnya seorang tokoh atau ulama yang dihormati atau berjasa. Dikhawatirkan jika
disebut haul Sunan Kudus maka masyarakat setempat akan menganggap bahwa tanggal
10 Muharram adalah tanggal wafatnya Sunan Kudus. Padahal hari dan tanggal wafatnya
Sunan Kudus sampai sekarang belum diketahui.
Resepsi (tanggapan) sebagian masyarakat Kabupaten Kudus muncul karena ada
proses pemaknaan terhadap Upacara Buka Luhur Makam Sunan Kudus (BLMSK). Hal tersebut disebabkan oleh adanya suatu latar belakang pemikiran tertentu pada masyarakat, sehingga muncul mitos yang berkembang di masyarakat bagi orang yang memahami/memercayainya. Setiap orang
menerima pemahaman/kepercayaan mitos terkait Upacara BLMSK sesuai dengan
caranya dan kebutuhannya sendiri.
Resepsi dari responden menunjukkan sebagian besar pernah mengikuti prosesi
Upacara Buka Luwur. Hasil penelitian menyebutkan bahwa masyarakat Kabupaten
Kudus yang sudah berusia 40 tahun ke atas, mereka semua pernah mengikuti prosesi
upacara tersebut. Semakin tinggi lulusan seseorang/masyarakat, tidak menjamin mengerti
latar belakang diadakannya Upacara BLMSK. Mereka hanya mengetahui adanya
Upacara BLMSK, karena hanya dianggap melakukan tradisi yang sudah ada. Mayoritas
responden menyatakan percaya adanya mitos terkait Upacara BLMSK, seperti luwur
bekas makam Sunan Kudus dan sego jangkrik. Luwur dan sego jangkrik dipercaya
mengandung berkah dari Sunan Kudus meskipun ada beberapa yang tidak percaya karena
dianggap musyrik.
Meskipun resepsi/tanggapan masyarakat Kabupaten Kudus terhadap Upacara
BLMSK berbeda-beda, mereka percaya bahwa upacara tersebut untuk menghargai dan
mengenang Sunan Kudus yang telah berjasa “membawa” Kota Kudus menjadi sekarang
ini. Sunan Kudus merupakan salah satu dari Walisongo yang telah menyebarkan ajaran
Islam di pulau Jawa. Masyarakat Kabupaten Kudus, terutama Desa Kauman sangat
antusias terhadap Upacara BLMSK. Tanggapan masyarakat (baik aktif maupun pasif)
menjadikan upacara tersebut tetap “ada” dan masih sampai sekarang.
Sumber: Suluk Indo
0 Comments