Muktamar NU 1928 dan Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 28 Oktober 1928 hingga kini masih terngiang kuat di telinga masyarakat Indonesia. Sejarah Sumpah Pemuda selalu menarik dibaca. Setiap membacanya menghadirkan gambaran anak muda yang energik yang patriotik. 

Generasi muda di era kini perlu mensyukuri kenikmatan Tuhan yang berbentuk kehidupan merdeka nan damai. Hanya dengan kondisi seperti ini terbuka kesempatan untuk merealisasikan cita-cita Sumpah Pemuda.

Deklarasi Sumpah Pemuda tentu tidak berdiri sendiri. Waktu dan momentum Sumpah Pemuda berkaitan erat dengan dinamika anak bangsa sebelumnya. Spirit Sumpah Pemuda terbangun dari sejarah bangsa besar yang sedang berproses mewujudkan cita-cita besar: Merdeka! Maka deklarasi Sumpah Pemuda boleh saja apa adanya dan dikreasi oleh anak-anak muda sederhana. Namun faktanya Sumpah Pemuda telah menjadi penggalan sejarah hebat yang mampu memberi jejak emas anak muda dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

Sumpah Pemuda termasuk bagian dari proses gerakan kebangsaan itu. Inilah warna perjuangan baru anak muda Nusantara menuju kemerdekaan: perang kebudayaan! Anak muda bersatu yang berupaya memelihara dan memupuk kekuatan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. 

Agenda besar Sumpah Pemuda tentu kemerdekaan tanah air dari penjajah. Isu yang diusung pun sangat substansial: satu bangsa, bahasa dan Tanah Air. Perang kebudayaan yang tersimbolkan dalam Sumpah Pemuda ini berimbas sosial politik sangat besar sepanjang sejarah Indonesia.

Penggalan sejarah Sumpah Pemuda sudah banyak yang menulis dan hingga kini belum kering sumber sejarah itu. Sumpah Pemuda memang penting dan sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Karena itu tergelitik juga untuk bertanya, di manakah posisi dan peran Nahdlatul Ulama dalam konteks Sumpah Pemuda? 

Pada kesempatan ini saya ingin menulis secuil catatan tentang para kiai Nahdlatul Ulama menjelang deklarasi Sumpah Pemuda. Sebagaimana telah banyak ditulis para sejarawan bahwa Nahdlatul Ulama dideklarasikan sebagai muara dari tiga gerakan aktivis pesantren, yaitu gerakan pencerahan (tashwirul afkar), gerakan nasionalisme (nahdlatul wathan) dan gerakan kemandirian ekonomi (nahdlatut tujjar). Kehadiran NU pada 1926 itu tak lebih dari tahapan dari proses gerakan kebangsaan yang makin menguat memasuki abad 20.

Pada saat momentum Sumpah Pemuda, NU masih memasuki umur tahun ke-3. NU belum populer sebagai organisasi berbasis massa apalagi hidup di era penjajah. Namun meski masih bayi, tokoh-tokoh NU era itu bukanlah orang asing di dunia pergerakan. Karena itu NU pun mampu bergerak cepat. 

Pelaku sejarah, almarhum Ruslan Abdul Gani mencatat NU tumbuh cepat dan nyaris merata. Sehingga terasakan dalam kelahiran NU terdapat jiwa self help. Ruslan menambahkan, deklarasi NU itu wujudnya adalah gerakan sistematis muslim desa yang termasuk mata rantai kebangkitan rakyat secara nasional.

Setahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1927, para kiai NU dalam forum tertinggi NU memutuskan menabuh genderang perang kebudayaan. Para kiai NU menyasar pada pelarangan budaya Belanda yang tersimbolkan dalam ornamen mode pakaian. 

Ahmad Syalabi (sejarawan Mesir) mencatat bahwa keputusan NU tahun 1927 tersebut bentuk perlawanan budaya para kiai terhadap penjajah. Perang kebudayaan yang digelorakan para kiai NU itu dalam implementasinya berwujud boikot dan delegitimasi atas budaya yang bersumber dari penjajah. Perang kebudayaan tersebut secara ekstrem juga berwujud legitimasi para kiai NU untuk berperang melawan penjajah. Keputusan NU tahun 1927 tentang perang kebudayaan secara langsung memang melahirkan hukum kewajiban muslim Nusantara untuk berperang mengangkat senjata. Sebab untuk kali pertama, NU menggolongkan penjajah saat itu sebagai kaum kafir yang harus diperangi dan ditundukkan.

Keputusan NU tahun 1927 untuk perang kebudayaan cepat tersosialisasi ke tengah masyarakat. Muslim Nusantara meresponnya dengan patuh dan dipraktikkan. Segala macam asesoris, ornamen, simbol yang berbau penjajah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat desa. Selama satu tahun NU melakukan perang kebudayaan dengan berbagai konsekuensi turunannya. Babak selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar Muktamar sebulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.

Saat Muktamar NU 1928 tersebut para kiai memutuskan untuk melanjutkan perang kebudayaan menghadapi penjajah. Para kiai pun menambah agenda baru konfrontasi dengan Belanda dengan memasukkan isu ekonomi dan politik. Pada isu ekonomi para kiai melakukan delegitimasi mata uang penjajah. Sedangkan isu politik digulirkan dengan mempertanyakan keabsahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan. Maka menjelang Sumpah Pemuda, perlawanan para kiai NU maju dua langkah: pertama, menyisir dari kelemahan mata uang penjajah. Kedua, menyisir dari kelemahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan.

Satu bulan paska Muktamar NU ke-3, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda dideklarasikan. Tema besar Sumpah Pemuda cepat direspons masyarakat mengingat Sumpah Pemuda adalah bagian dari babak perjuangan anak bangsa, termasuk Nahdlatul Ulama. Inilah yang dimaksud Ruslan Abdul Ghani bahwa NU adalah bagian dari gerakan sistematik kebangkitan nasional.

Catatan ini memang tidak populer di tengah masyarakat Indonesia. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama RI era Bung Karno, mengatakan NU memang tidak populer dan baru dikenal empat puluh tahun setelah kelahirannya. Saifuddin menambahkan popularitas NU baru muncul saat menjadi organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.

Sumpah Pemuda memang selayaknya selalu kita jadikan spirit membangun negeri. KH Mustofa Bisri dalam catatannya di hari Sumpah Pemuda tahun ini mengajak pemuda Indonesia untuk bangga dengan Indonesia. Sama seperti para kiai tahun 1927, Gus Mus (begitu biasanya beliau dipanggil) juga mengingatkan bahwa tidak sepatutnya menganggap semua hal yang berasal dari luar bangsa kita itu lebih baik. Wallahu A’lam

Sumber dari Detik

Post a Comment

0 Comments