Turaichan Adjhuri (1915-1999) merupakan ulama terkemuka di Kudus. Mbah Tur, begitu beliau sering disebut, adalah alim allamah di bidang falak, faraidl, tasawuf, fikih dan ilmu lainnya. Tidak heran bila beliau rujukan berbagai ulama, khususnya dalam bidang falak dan fikih karena akurasi kehati-hatiannya. Sebagai tokoh yang banyak disowani para kiai dan santri dari berbagai daerah, beliau selalu membuka acara dialog tentang perkembangan wacana keagamaan. Dialog tersebut dibuka ketika open house pada Hari Raya Idul Fitri.
Para hadirin yang meminta pendapat dan fatwa pada saat itu langsung dijawab oleh beliau. Diantara hadirin yang biasa bertanya waktu itu adalah pendiri IPNU Kecamatan Jati Kudus, yaitu KH. M. Tholhah Izzul Ma’ali bin KH. M. Ihsan (sekitar 1940-1995). Kiai Tholhah merupakan murid Mbah Tur sekaligus menantu dari Nyai Hj. Afifah, puteri pertama KH. Muhammadun Pondowan Tayu Pati.
Pertanyaan dari Kiai Tholhah pasti dapat dititeni oleh Mbah Tur. Beliau biasanya berkata: “Pitakon ngene iki mesti sing takon Tholhah Ngloram (Loram Kulon Jati Kudus)” (pertanyaan seperti ini pasti yang tanya Tholhah Ngloram). Pasalnya, pertanyaan Kiai Tholhah biasanya sangat jarang dijumpai kasus dan jawabannya, unik dan tidak ada dalam kitab matan atau syarah biasa. Pertanyaan yang sulit dan unik dipastikan berasal dari penanya yang menguasai banyak disiplin ilmu dan mendaras banyak kitab babon dan. Kiai Tholhah sendiri adalah santri dari “kamus berjalan” KH. Abul Fadhol Senori Tuban, “singa podium” KH. Bisyri Musthofa, Imam Sibawaih Jawa KH. Muhammadun Pondowan dan lainnya.
Mbah Tur Bertanya Tentang Sikap Diam Kiai Tholhah
Diskusi Kiai Tholhah dan Mbah Tur tidak hanya berhenti di situ. Di majelis bahtsul masa’il diniyyah PCNU Kudus, keduanya selalu bertemu. Salah satu undangan beliau di majlis tersebut dijadwalkan pada Ahad Legi, 23 Rajab 1397 H/10 Juli 1977. Nama-nama yang ada dalam surat “Majlis Munadharah Masa’il Diniyyah Nahdlatul Ulama” adalah Kiai Ma’shum Rasyidi sebagai ketua, H. Hamdan Abdul Jalil sebagai sekretaris dan KH. Turaichan Adjhuri sebagai Ra’is Syuriah Nahdlatul Ulama Kudus. Nama yang tertulis dalam undangan majelis tersebut adalah al-Mukarram Kiai al-Hajj Tholhah Ngloram Kulon.
Forum yang bernama sekarang populer dengan “Munadharah Qudusiyyah” itu diisi oleh para kiai dari berbagai penjuru Kudus. Nama “Qudusiyyah” sendiri diambil agar tidak menyerupai nama salah satu madrasah di Kudus Kulon dan agar sesuai dengan wazan kata “Kudus.” Meskipun sering bertatap muka, namun Mbah Tur heran dengan Kiai Tholhah.
Pasalnya, Kiai Tholhah dengan segudang kitab dan pengetahuan serta guru yang alim allamah, tidak pernah melontarkan jawaban, menyebutkan maraji’ kitab, ataupun berbicara sedikit pun di majelis tersebut. Mbah Tur pun bertanya: “Iku Tholhah kok ora tau ngomong ning Munadharah lapo? Eman-eman.” (Tholhah itu kok tidak pernah berbicara di Munadharah kenapa? Patut disayangkan). Namun Mbah Tur pun akhirnya memaklumi tradisi tawadhu’ para santri yang sami’na wa atha’na (mendengar dan melaksanakan tanpa pertimbangan apapun) apapun perintah dan fatwa kiainya.
Hal ini dibuktikan bahwa Kiai Tholhah tidak mau mengajarkan kitab dan pengetahuan agama kepada masyarakat Loram dan sekitarnya selama KH. Muhammadun Pondowan masih hidup. Namun setelah Imam Sibawaih Jawa tersebut memerintahkan Kiai Tholhah untuk mengajar, beliau pun menuruti perintah gurunya tersebut. Kiai Tholhah pun akhirnya mengabdikan dirinya di Pondok Pesantren Ihyaussunnah Ihsaniyyah Loram Kulon Jati Kudus. Pondok tersebut didirikan oleh KH. M. Masyhuri, yang merupakan adik dari ayahnya sendiri, KH. M. Ihsan pada sekitar tahun 1950an.
Mengajar di Madrasah TBS Kudus dan Madrasah Miftahul Ulum
Beliau juga mengajar di Madrasah TBS Kudus sejak masih perjaka hingga akhir hayatnya. Selain menjadi pendiri IPNU Kecamatan Jati, beliau bersama tokoh masyarakat mendirikan Sekolah Arab Miftahul Ulum yang berlokasi Langgar Wetan Ihyaussunnah Assaniyyah dan paseban (balai desa) yang terletak di sebelah rumahnya. Beliau mendirikan Majelis “Lailatul Ijtima’ Maidanul Machasin” sekitar tahun 1980an. Majelis ini merupakan salah satu majelis tertua yang ada di kecamatan Jati dan masih ada sampai sekarang.
Diantara karangan beliau adalah kitab nadham Alfiyyah Ibn Malik yang banyak hamisy (catatan pinggir) penuh dari halaman awal hingga akhir. KH. Noor Aufa Shiddiq, kaligrafer senior Kudus, juga pernah bercerita pernah beberapa kali diminta untuk menuliskan kitab karangan beliau setelah selesai mengajar di kelas. Ada juga ta’liq syarh (catatan bawah sebagai komentar) kitab al-Mandhur al-Wafi fi ‘Ilmay al-‘Arudl wa al-Qawafi karya KH. Abul Fadhol Senori Tuban. Tapi karena beberapa kendala seperti kesehatan dan belum mempunyai nama di percetakan kitab, maka penerbitan karya beliau belum bisa tercapai.
Kiai Tholhah wafat pada pada Ahad Pon, 25 Shafar 1416 H/23 Juli 1995 M pukul 02.30 dini hari di dalem beliau, kompleks Pondok Pesantren dan Mushalla Ihya’ussunnah Assaniyyah. Beliau dimakamkan di Pemakaman Istiqomah Loram Kulon Jati Kudus, di samping makam ibunya, Hj. Muslimah. Adapun yang melakukan talqin pada waktu itu adalah KH. Badruddin Muhammadun dan diberikanlah talqin bahasa Jawa kepada beliau. Namun putra pertama KH. Muhammadun itu kemudian berkata: “iki sing ng kuburan wong Arab, talqin e kudu nganggo bahasa Arab (yang ada di dalam kuburan ini adalah orang Arab, talqinnya harus memakai bahasa Arab).” Akhirnya diambilkanlah kitab I’anah al-Thalibin yang di dalamnya ada talqin dalam bahasa Arab dan kemudian beliau memulai talqinnya. Makamnya selalu ramai diziarahi oleh masyarakat, para santri dan keluarga, murid-murid Madrasah TBS Kudus serta alumni dan anggota IPNU IPPNU Kecamatan Jati Kudus.
Sumber: Pesantren.ID
0 Comments