Afroh melanjutkan kisahnya, diceritakan bahwa pada masa lalu, bangunan masjid dan gapura terletak sangat jauh satu sama lain. Namun, seiring berjalannya waktu dan berbagai renovasi yang dilakukan pada masjid, jarak antara masjid dan gapura menjadi semakin dekat. Akibatnya, yang tersisa sekarang sebagai artefak bersejarah adalah Gapura Padureksan.
"Kemudian, pada awalnya saat dibangun masjid ini, masjid dan gapura berjarak jauh. Namun, seiring berjalannya waktu, pada tahun 1971, sebuah serambi dibangun di sini, yang dulunya merupakan tanah lapang dengan pohon-pohon besar. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1990, dilakukan renovasi total pada masjid karena kapasitasnya tidak mencukupi untuk menampung jemaah. Renovasi masjid ini dilakukan secara menyeluruh," kata Afroh.
"Ibu bangunan ini, yang disebut serambi, kemudian dikembangkan menjadi dua lantai pada tahun 2011. Sementara itu, pada tahun 1996, gapura mengalami renovasi. Ini adalah bagian dari upaya untuk melestarikan gapura. Pada saat itu, juga telah ada undang-undang yang berkaitan dengan pelestarian benda cagar budaya. Gapura ini, bersama dengan sumurnya yang masih asli, merupakan peninggalan dari Sultan Hadirin," lanjutnya.
Afroh juga menceritakan bahwa Sultan Hadirin, yang merupakan seorang raja di Jepara, dapat sampai ke Kudus. Konon, Sultan Hadirin menikahi Roro Ayu Kalinyamat, namun pada awalnya mereka belum memiliki anak. Karena keinginan Sultan Hadirin untuk memiliki keturunan, ia kemudian dijodohkan dengan Dewi Probodinabar, salah satu putri Sunan Kudus. Dari pernikahan ini, Sultan Hadirin menjalin hubungan yang erat dengan Sunan Kudus.
"Sunan Kudus pada saat itu mengetahui bahwa menantunya, Sultan Hadirin, adalah seorang ulama. Oleh karena itu, Sunan Kudus meminta Sultan Hadirin untuk membantu menyebarkan agama Islam di Kudus bagian selatan. Sultan Hadirin kemudian memilih Loram Kulon sebagai tempat untuk menyebarkan agama Islam karena lokasinya strategis dan mayoritas penduduknya masih menganut agama Hindu," jelasnya.
"Hingga saat ini, masjid tersebut masih digunakan sebagai tempat ibadah bagi warga setempat, dan sejumlah tradisi lokal juga tetap dilestarikan, seperti tradisi sedekah nasi kepel dan tradisi kirab nganten (pengantin)," tambah Afroh.
Sumber: DetikNews
0 Comments