Sebagian besar warga Kudus telah mengenal, siapa sosok KH Sanusi. Ada juga yang mengenalnya dengan nama KH Sanusi Ali, atau Mbah Sanusi Ali.
KH Sanusi yg dimakamkan di selatan Masjid Kauman Jekulo. KH Sanusi dilahirkan dari pasangan Ya’qub dan Sarijah. Adapun silsilah, mulai dari dirinya.
KH Sanusi Bin kiai Ya’qub dimakamkan di Tenggeles, Bin Raden Mas Hadi Kesumo (KH Abdur Rohman makamnya di Ngembalrejo Kudus), Bin Raden Mas Sumo Hadiwijoyo makamnya di Mlati Kudus, Bin Raden Mas Tumenggung Adipati Hadi Kesumo Nengrat, dan Bin Raden Mas Tumenggung Adipati Surya Kesumo Mejobo Kudus.
Silsilah Mbah Sanusi juga sampai kepada Waliyullah Abdur Rahman Ba’abud yang lebih dikenal dengan nama Amangkurat Mas II, Tegal Arum. Raden Amangkurat Mas merupakan salah satu keluarga Kerathon Surakarta yg mengasingkan diri dari pemerintahan
.
Saat hidupnya, beliau dikenal dengan sebutan H Sanusi Ali, namun keterangan lain nama Ali tersebut bukan nama asli melainkan laqob atau nama panggilan yg berasal dari istilah Sanusi Kulon Kali. Lalu anak-anak kecil sering menyebutnya dengan menyingkat Mbah Sanusi Kulon kali menjadi Mbah Sanusi Ali. Dalam menyebarkan ilmunya, Mbah Sanusi Ali lebih suka melayani masyarakat daripada mendirikan pesantren.
Mbah Sanusi kerap melakukan riyadlah dengan bertapa selama 40 hari tanpa bekal di puncak Argo Jimbangan, salah satu puncak di Gunung Muria. Almarhum KH Ahmad Basyir, sesepuh dan kiai Desa Jekulo pernah mengatakan, Mbah Sanusi adalah salah satu waliyullah yang dapat disetarakan dengan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam skala kecil. Karena, jalan kehidupan dan spiritualitas yang dijalani memiliki kemiripan dengan manaqibnya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Salah satunya, dulu ada saudagar Kudus yang dicegat sekawanan perampok di tengah jalan. Tiba-tiba, saudagar itu menyebut berulang-ulang nama Mbah Sanusi. Tiba-tiba Mbah Sanusi datang dan menolongnya.
Ada beberapa karomah Mbah Sanusi yang sampai sekarang kerap menjadi buah bibir di kalangan masyarakat.
Saat beliau melakukan tapa brata tersebut beliau selalu ditemani macan yang selalu membawakan bumbung air untuk berwudhu, guna menjalankan salat lima waktu.
Beliau juga pernah ditemui oleh Nabi Khidir AS dan diberi nasi bungkus untuk menghabiskanya namun beliau tidak dapat menghabiskanya, dan hanya memakanya separuh.
Saat riyadlah dan genap 40 hari beliau turun gunung untuk menemui ibunya. Saat sampai di rumah, Mbah Sanusi mengerjai ibunya saat sedang menimba air di sumurnya dengan sengot. Tiba-tiba ibu merasa berat dan berteriak-teriak minta tolong karena tak mampu menarik sengot timbanya tersebut.
Mbah Sanusi tiba tiba muncul dengan memegang sengotnya dan berkata (Aku yang ganduli mbok). Rupanya, Mbah Sanusi ingin memperlihatkan kemampuannya kepada sang ibu.
Pernah suatu pagi, Mbah Sanusi menyapu di depan musala dengan diam menunduk. Hanya tangannya saja yang bergerak-gerak. KH Yasin, yang merupakan murid beliau sowan, beliau berkata bahwa tadi sedang membantu seorang di Malang, Jawa Timur.
Pada kesempatan lain, KH Yasin sowan ke rumah Mbah Sanusi di pagi hari. KH Yasin disuguhi Nasi Samin yang masih hangat. Meliahat suguhan itu KH Yasin bertanya dengan dialek Jawa, “Nasi Samin yang penuh daging itu berasal dari mana??”.
Mbah Sanusi menjawab. “Itu lho tadi jam setengah enam pagi aku dapat undangan di Mekah” kemudian KH Yasin menimpali, “Waktu aku haji, kebanyakan nasi di Mekah memang Nasi Samin”. Yang jelas, pagi itu, KH Yasin melihat Mbah Sanusi masih di Jekulo.
Di antara murid-murid beliau adalah KH Yasir, KH Yasin dan KH Dahlan, ketiganya adalah ulama setempat di daerah Jekulo. Juga KH Muhammadun Pondohan Tayu Pati. Beliau KH Muhammadun ber-baiat Thariqah Naqsabandiyyah pada Mbah Sanusi dengan baiat khusus. Oleh Mbah Sanusi, KH Muhammadun dipesan agar tak mengijazahkan kepada sembarang orang.
Begitulah kira-kira sepenggal Biografi tentang Waliyulloh Mbah Sanusi. Haul beliau diadakan pada Malam hari setelah Isya’ oleh Masyarakat dan keturunan beliau, setiap Tanggal 18 Syawal.
Editor : Akrom Hazami via Murianews.com
0 Comments