Ribuan warga berebut nasi kepel dalam tradisi Ampyang Maulid Nabi di Kudus kemarin. Seperti apa suasananya?
Tradisi ini berlangsung di depan halaman Masjid Wali At-Taqwa, Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Selasa (20/11/2018). Sebelumnya nasi kepel lebih dulu dikirab.
Kirab dimulai sejak siang hari. Ribuan warga berdiri di di tepi jalan kampung di Desa Loram Kulon. Mereka ingin meramaikan suasana dengan menonton tradisi Ampyang Maulid.
Perayaan peringatan Maulid Nabi itu diwarnai dengan kegiatan karnaval mengarak Ampyang. Ampyang adalah tandu yang berisi nasi kepel dibungkus daun jati. Nasi bungkus ini dirangkai mirip gunungan. Ada pula tandu berisi gunungan buah-buahan dan hasil sayuran lain, serta replika gajah, dan replika tokoh setempat.
Pantauan di lokasi, kirab bertolak dari Lapangan Loram menuju Masjid Wali At-Taqwa. Sepanjang jalan desa ribuan warga berdesakan, berjubel, di tepi jalan. Begitu rute hampir mendekati masjid, masyarakat yang menonton kian sesak. Kemudian, peserta kirab mengitari gapura masjid dan kemudian menyalami atau memberi hormat pada Bupati Kudus M Tamzil.
Bupati M Tamzil mengemukakan, Loram Kulon adalah desa wisata. Bahkan tradisi Ampyang masuk dalam salah satu agenda wisata Jateng. "Kita lestarikan. Masyarakat berkumpul bersama ulama, tokoh masyarakat, dan pemerintah memberi penghormatan di peringatan Maulid Nabi," kata dia.
Setelah pembacaan doa selesai, warga langsung berebut nasi kepel yang sebelumnya dikirab. Ampyang berisi nasi lengkap dengan kerupuk dan sayur yang dibungkus daun jati serta lauk ikan bandeng, telur, serta tahu dan tempe.
Tua, muda, anak, hingga perempuan berjibaku berebut nasi kepel. Dalam waktu sekitar 10 menit, nasi kepel pun ludes. "Saya memang ikut merebut nasi kepel. Saya ingin ngalap berkah wali," kata salah seorang warga, Sumiyati sambil melahap nasi kepelnya.
Ketua panitia Anis Aminudin menjelaskan, pihaknya menyediakan hampir seribu nasi kepel dalam gelaran tradisi Ampyang tahun ini.
"Sekitar 1.000 nasi kepel yang kami sediakan," tutur Anis. Anis menceritakan sekilas sejarah tradisi Ampyang. Tradisi ini merupakan satu dari tiga peninggalan pendiri Masjid Wali, Sultan Hadirin, yang masih bersaudara dengan Sultan Trenggono, Raja Kerajaan Demak.
"Ada tiga peninggalan dari tradisi Sultan Hadirin dalam sebarkan Islam. Yakni sodakoh nasi kepel untuk hindari bala. Kedua, mubeng masjid bagi pengantin baru untuk kenalkan diri ke masyarakat, dan tradisi Ampyang Maulid," beber Anis.
Dalam kirab sendiri, lanjut Anis, ada sekitar 30 peserta. Mereka berasal dari Loram Kulon seperti pelaku UMKM, lembaga pendidikan, dan dari desa tetangga seperti Loram Wetan dan Getas Pejaten.
Sumber:
Detiknews
0 Comments