PELESTARIAN BCB : Sejarawan Kudus, Edy Supratno (kanan), berbicara dalam diskusi Kudus Museum Peradaban di UMK, Sabtu (8/4/2017) malam. |
Hal itu mengemuka pada diskusi ‘’Kudus
Museum Peradaban’’ di Universitas Muria Kudus (UMK), Sabtu (8/4) malam.
Sejarawan Kudus Edy Supratno mengaku prihatin dengan masih minimnya
kepedulian pemerintah daerah terhadap situs-situs bersejarah di Kudus.
‘’Contohnya ketidakpedulian Pemkab Kudus
untuk menjaga situs bersejarah di Desa Loram Kulon yang hilang. Saat
itu kami sampaikan kepada kepala daerah, dengan entengnya bilang buat
saja situs yang baru,’’ katanya.
Edy mengatakan, di Loram Kulon,
Kecamatan Jati, terdapat situs makam kuno yang diyakini peninggalan era
Mataram Kuno. Loram menjadi titik serang ke Prawoto (Keraton Medang).
‘’Situs-situs bersejarah di Loram banyak
yang rusak, bahkan hilang. Gentong bersejarah di Loram terakhir saya
lihat juga sudah rusak,’’katanya. Menurut penulis buku Djamhari Penemu
Kretek itu, Kudus sudah layak disebut sebagai museum peradaban.
Pasalnya, Kudus kaya sejarah mulai dari
era prasejarah, Hindu-Budha, Islam, hingga peninggalan era kolonial.
Selain Edy, narasumber lain adalah Kasi Sejarah dan Peninggalan Pubakala
Disbudpar Kudus Sutiyono dan Akademisi STAIN Kudus Nur Said.
Pada diskusi yang digagas Jaringan
Edukasi Napak Tilas Kabupaten Kudus (Jenank) dan Balai Pelestari Cagar
Budaya (BPCB) Jawa Tengah itu, juga diputar dua film berjudul
Tangan-Tangan Terpilih yang mengisahkan Mbah Man, seorang pencari batu
candi yang berperan besar pada pemugaran candi dan BCB yang dilakukan
BPCB Jateng, dan film Jagad Kalicode.
Kesalahan Memaknai
Edy mengatakan, ketidakpedulian terhadap
BCB banyak dipicu kesalahan memaknai sejarah sebagai masa lalu dan
menganggapnya sebuah mitos. ‘’Kudus sangat kaya sejarah masa silam,
termasuk keberadaan selat Muria menarik untuk digali lebih dalam,’’
katanya.
Akademisi STAIN Nur Said mengingatkan,
jika BCB tidak hanya dimaknai sebagai sebuah benda atau bangunan
bersejarah. Manuskrip-manuskrip kuno juga perlu diberi perhatian lebih
agar tetap lestari dan bermanfaat bagi generasi saat ini.
Kasi Sejarah dan Peninggalan Pubakala
Disbudpar Kudus Sutiyono mengatakan, di Kudus tercatat 98 BCB terdaftar
di BPCB Jateng tahun 2016. ‘’Kami belum menginventarisasi kembali,
karena keterbatasan tenaga ahli,’’katanya.
Upaya pelestarian rumah adat kudus
misalnya, menghadapi kendala karena umumnya rumah tercatat sebagai aset
pribadi warga. Penjualan rumah-rumah adat membuat jumlahnya terus
menyusut.
‘’Boleh-boleh saja rumah adat dijual,
asalkan tidak berpindah tempat,’’katanya. Aktivis Jenank Danar Ulil
Husnugraha menambahkan, pelestarian BCB bisa dilakukan optimal jika
konsep ABCD berjalan.
Konsep itu melibatkan akademisi, pelaku
bisnis, komunitas, dan pemerintah. ‘’Hanya peran pemerintah di daerah
kerap tidak sejalan dengan upaya pelestarian BCB,’’ ungkapnya. (H62-27)
Sumber: Suara Merdeka
Sumber: Suara Merdeka
0 Comments