Sebuah gapura selamat datang dari susunan batu bata berwarna merah muda, yang ditata menyerupai bangunan rumah adat Kota Kretek, dengan cat yang mulai pudar di sana-sini, tampak berdiri kukuh di tepi jalan masuk menuju Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus.
Pada salah satu bagian bangunan setinggi dua meter tersebut, tertera ucapan ''Anda Masuk Desa Loram Kulon'' yang ditulis dengan huruf besar dan berwarna gelap -sangat kontras dengan latar belakangnya yang merah muda.
Tanpa membaca pun, mereka yang melewati kawasan sejumlah home industry mulai dari tas sampai tekstil -apalagi yang berdomisili di dalamnya- itu akan mengetahui bahwa wilayah tersebut termasuk kawasan Loram.
Tetapi, mungkin tidak banyak yang tahu, tepatnya mengerti secara pasti, mengapa desa itu dinamakan Loram.
Berdasarkan beberapa literatur yang mulai menguning, karena usianya yang makin renta, yang tersudut di beberapa perpustakaan di Kudus, nama itu ternyata menyimpan cerita unik. Belum lagi bahan kajian kesejarahan yang didapat oleh pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kudus, melalui Kasi Kebahasaan, Kesenian, dan Nilai Tradisional (KKNT).
''Beberapa desa yang kami teliti, ternyata mengandung cerita yang mungkin saja tidak banyak diketahui orang, apalagi generasi yang terlahir belakangan ini,'' kata Giyono, yang mengepalai KKNT.
Ketika dirunut dari sejumlah sumber, misalnya dari sesepuh desa, kata dia, nama Loram diperkirakan mempunyai hubungan dengan pohon bernama lo, yang dulu sering digunakan untuk bertapa oleh penguasa kerajaan Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya, saat ia mengembara dan bersemedi di suatu tempat.
Di tempat itulah, ratusan tahun kemudian, orang melihat pohon lo yang tumbuh besar, seperti raksasa, serta masih berdiri kukuh. Mereka, warga desa tersebut, melihat sesuatu yang ngeram-erami (mengherankan). Karena itu, kemudian mereka menyebutnya lo dan ram, sehingga lama-lama daerah itu dikenal dengan nama Loram.
GondoarumSelain Loram, sebuah desa bernama Gondoarum yang terletak di Kecamatan Jekulo, juga menyimpan cerita tersendiri. Syahdan, dari cerita yang turun temurun disebarkan oleh para tetua, pada zaman penjajahan Belanda terdapatlah seorang martir bernama Mbah Sewa Negara.
Kakek yang dikenal keras hati tersebut, mempunyai seorang cucu bernama Kasim. Suatu ketika, cucu yang berselisih paham dengan kakeknya tersebut meninggalkan pepundhen-nya itu untuk berkelana, sampai akhirnya bertemu dengan seorang putri cantik jelita.
Ketika dijumpai, putri tersebut terlihat menyelipkan bunga di atas telinganya, hingga membuat bau harum di sekitarnya. Dalam beberapa rentang waktu kemudian, daerah tersebut dikenal dengan nama Desa Gondoarum.
''Meskipun legenda tersebut didapat dari keterangan beberapa sesepuh masyarakat di desa tersebut, namun sampai saat ini kejelasan hal itu masih terus kami teliti,'' katanya.
Legenda-legenda kesejarahan tersebut, ujar Giyono, dijadikan satu dalam bentuk kumpulan data kesejarahan dan nilai kultural Kabupaten Kudus. Data tersebut, nantinya akan dijadikan acuan bagi Pemkab umumnya dan Disparbud khususnya, untuk menyusun sejarah Kota Kudus secara lebih komprehensif.
''Tentunya, dengan juga melibatkan ahli kesejarahan untuk mengaji sejauh mana kebenaran cerita-cerita tersebut,'' tambah Giyono yang mengaku baru menggali beberapa legenda sejumlah desa di Kudus, untuk menelusuri asal-usul kesejarahannya.
Sumber: Suara Merdeka, 11 Januari 2005
0 Comments