Di Kudus, Jawa Tengah terdapat sebuah monumen saksi perjuangan tentara di wilayah Gunung Muria melawan penjajah. Nama monumen Markas Komando Daerah Muria yang masih ada hingga sekarang. Lalu seperti apa ceritanya?
Monumen Markas Komando Daerah Muria bersejarah ini berada di Desa Glagah Kulon, Kecamatan Dawe. Letaknya di lereng Gunung Muria. Lokasinya dari pusat Kota Kudus berjarak sekitar 22 kilometer, jika ditempuh berkendara sepeda motor sekitar 36 menit.
Monumen berada di tengah permukiman warga Desa Glagah Kulon. Saat akan memasuki monumen, di bagian depannya terdapat sebuah gapura masuk. Di tengah monumen pun tampak ada tiang bendera merah putih.
Monumen Markas Komando Daerah Muria memiliki corak khas. Bentuk monumen berupa bentuk Gunung Muria dengan relief kepala macan putih.
Selanjutnya ada senjata perang berupa pedang dan tombak dari bambu. Sedangkan di sisi kiri terdapat relief warga dan prajurit tentara. Terlihat seorang wanita dan pria tengah memberikan minuman kepada dua tentara yang mengenakan pakaian berwarna hijau.
Berikutnya sisi kiri terdapat gambaran hamparan luas suasana wilayah Gunung Muria yang masih terlihat hijau.
Penjaga Monumen Markas Komando Daerah Muria, Sipat (69), mengatakan dulunya di kawasan monumen merupakan sebuah rumah milik Mbah Modirono Sarbo bayan Desa Glagah Kulon. Rumah milik Sarbo itu digunakan untuk singgah para tentara saat bergerilya melawan pasukan Belanda.
"Dulunya kan digunakan untuk markas, terus akhirnya sudah tenteram membuat monumen itu. Pada tahun 1972 (monumen ini) baru dibuat," kata Sipat saat ditemui detikcom di lokasi, Sabtu (27/2/2021).
Sipat menceritakan pada tahun 1948 wilayah Glagah Kulon digunakan tempat bersinggah para tentara Indonesia yang ada di kawasan Muria. Para tentara itu dinamakan tentang macan putih.
"Sekitar 1948 istilahnya ada Belanda. Ini rumahnya Mbah Sarbo digunakan tempat singgah," ujarnya.
"Lalu di sini ada nama pasukan macan putih. Itu ceritanya zaman dulu, Pak Kamituo Bungkus itu asli Cranggan, itu ada penjajah (pasukan Belanda) di wilayah sini. Kemudian beliau ini seperti dirasuki macan putih seperti itu. Terus ke sini bilang sama Komandannya. Dan katanya ternyata ada macan putih beneran itu," sambungnya.
Menurutnya hingga sekarang tugu tersebut masih dirawat dengan baik. Sipat menuturkan banyak pelajar yang datang untuk belajar atau mengenang perjuangan tentara pejuang kemerdekaan.
"Biasanya ada dari anak-anak sekolah. Terus setiap 10 November, 17 Agustus ada kegiatan di sini," ucapnya.
Koordinator Jaringan Edukasi Napak Tilas Kabupaten Kudus (Jenank) Danar Ulil menambahkan daerah Glagah Kulon dulunya dijadikan markas tentara Indonesia. Hal tersebut terjadi setelah pasca kemerdekaan penjajah Belanda datang kembali ke Indonesia. Pada tahun 1948 terjadi agresi militer 1 dan 2.
"Fase setelah kemerdekaan kan diserang Belanda pengin menguasai Indonesia lagi, adanya agresi militer kedua 22 September 1948," ujarnya.
Menurutnya saat pemerintah sipil lumpuh, kemudian tentara mendirikan markas di sejumlah wilayah terutama di Pulau Jawa. Salah satunya di kawasan Muria meliputi tiga kabupaten, Kudus, Pati, dan Jepara.
"Saat pemerintah sipil lumpuh, Markas Komando Jawa di bawah instruksi Panglima Besar Jendral Sudirman harus ada tentara militer di Indonesia. Khusunya di Jawa," ucap Danar.
"Agar menunjukkan bahwa sini (Indonesia) tetap eksis sebagai sebuah negara. Di Pati ada Kahartan bupati namanya punya tentara elit, namanya Kapten Ali Machmoedi sebagai komandannya," sambungnya.
Danar menjelaskan awalnya markas tentara berada di wilayah Pati. Namun komando waktu itu bernama Ali Machmoedi tewas saat melawan tentara Belanda, kemudian markas tentara Indonesia pindah di Glagah Kulon.
"Pasukan elite itu dipimpin Mayor Kusmanto," terangnya.
Dia menjelaskan pasukan itu diberi nama macan putih. Pasukan tersebut terdiri dari 40 orang. Pasukan tersebut, kata dia, sempat berhasil menghadang pasukan Belanda di wilayah Pati yang menewaskan Van der Disyen seorang pemimpin pasukan Belanda.
"Ceritanya salah satu Kamituwo Cranggan, orang zaman dulu mimpi dapat inspirasi pasukan dinamakan macan putih. Di mimpinya reti macan putih menangan. Jumlah pasukan harus 40 orang," ungkapnya.
"Pada akhirnya, Komando Daerah Muria berakhir setelah Konferensi Meja Bundar (KMB). Dan untuk mengenang pada tahun 1972 baru dibuat monumen ini," pungkas Danar.
Sumber: Detik
0 Comments