Masjid Jami At Taqwa Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, diyakini masyarakat mampu memberikan kenyamanan maupun kebahagiaan dalam mengarungi hidup rumah tangga. Makanya , setiap ada yang menikah, masyarakat setempat mempertahankan Tradisi keliling (mubeng) gapura masjid At Taqwa tersebut bagi pasangan pengantin baru.
Kamis (29/7) kemarin, pasangan pengantin warga Loram Jati Kudus Kholid mawardi dan Faizah saat hendak melakukan ijab kabul di masjid tersebut melakukan tradisi turun temurun sejak ratusan tahun dengan keliling gapura bersama keluarga pengantin putra maupun putri.<>
Prosesi diawali dengan memasuki pintu gapura sebelah selatan yang kemudian berjalan dan keluar melalui pintu sisi utara. Sebelum keluar, calon pengantin tersebut mengisi buku tamu dan menyerahkan sumbangan kepada pihak masjid. Usai melakukan prosesi mubeng gapura, pengantin dan keluarganya menyempatkan diri berpose dengan latar belakang gapura masjid. Bangunan ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi bagi peradaban masyarakat Loram dan Kudus pada umumnya.
Mempelai pria, Kholid Mawardi menjelaskan, tradisi mubeng gapura masjid wali ini merupakan adat kebiasaan warga Desa Loram Kulon dan sekitarnya yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Selain mempertahankan tradisi yang sudah ada, kata pengantin yang juga aktifis LSM, ritual ini juga sebagai bentuk do'a kepada Allah SWT agar dalam mengarungi kehidupan rumah tangga nanti bisa langgeng dan selalu mendapat ridlo dan kemudahan dari Allah SWT."Warga juga percaya, ritual ini sebagai tolak balak," ujarnya.
Sementara itu, juru pelihara Masjid At Taqwa Masijan mengungkapkan, tradisi mubeng gapura ada sejak zaman Sultan Hadlirin sekitar tahun 1.400-an."Waktu itu, setiap warga yang akan menggelar hajatan baik itu acara syukuran atau pernikahan, selalu meminta berkah doa Sultan Hadlirin," ujarnya.
Karena jumlah muridnya semakin banyak, katanya, tidak semua warga bisa bertemu dengan Sultan Hadlirin. "Akhirnya, Sultan meminta kepada warga untuk mengelilingi gapura di depan masjid," ujarnya.
Sejak saat itu, kata dia, tradisi tersebut dilakukan warga Loram secara turun temurun hingga sekarang.
"Sebenarnya, tidak ada ketentuan yang mengharuskan calon pengantin melakukan ritual mubeng gapura. Karena warga desa menghormati dan menaati tradisi tersebut warga selalu mengikuti ritual tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, lanjut Masijan, pernah terjadi hal aneh ketika ada warga Loram yang menikah di luar kota tidak melakukan ritual tersebut. Sang suami yang merupakan warga Loram, sering sakit hingga memiliki anak.
"Setelah melakukan ritual mubeng gapura, orang tersebut tidak lagi sakit-sakitan dan bisa beraktivitas tanpa terganggu penyakitnya kambuh," ujar Masijan
Selain mubeng gapura, di masjid pada tahun 1596-1597 masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam ini, terdapat tradisi iring-iringan ampyangan dan nasi kepel. Ampyangan merupakan pesta rakyat sebagai wujud syukur atas rezeki yang telah diterima dari Allah SWT.
Sedangkan, tradisi nasi kepel berawal dari kebiasaan warga sekitar yang memberikan makanan kepada pekerja di masjid.Namun, pada perkembangannya nasi kepel sering diganti dengan uang tunai, sehingga pengelola masjid menyediakan kotak amal khusus bertuliskan kas manten dan kepel. (adb)
Sumber:
NU Online
0 Comments