Oleh Noor Aflah
Sama seperti daerah lain di Jateng, dalam menyambut HUT RI beberapa waktu lalu, sejumlah desa di Kabupaten Kudus, termasuk desa kelahiran saya, Singocandi, Kecamatan Kota, menggelar kegiatan guna memperingati hari bersejarah itu. Sebelumnya warga menghias jalan-jalan dengan garis putih, mengibarkan Sang Saka di beberapa titik strategis.
Masyarakat mengadakan tasyakuran berisi tahlil dan doa untuk arwah para pahlawan. Selain itu, menggelar aneka lomba untuk anak-anak, kaum ibu, dan tak lupa bapak, sebagai ajang pemeriah. Untuk menghimpun dana terkait kegiatan itu, masyarakat Kudus ‘’memberdayakan’’ kesenian tradisional Barong yang lebih sering disebut Barongan.
Barongan adalah salah satu kesenian khas Jawa Tengah. Barongan adalah karakter dalam mitologi Jawa dalam akulturasi Bali. Ia dilukiskan sebagai raja dari roh-roh serta melambangkan kebaikan atau pelindung. Sebagai pelindung, Barongan ditampilkan dalam wujud singa. Ia merupakan musuh Rangda yang juga sangat dikenal dalam mitologi Jawa-Bali.
Barong singa adalah salah satu bentuk dari jenis Barong. Masyarakat tradisional dulu meyakini Jawa, Madura, dan Bali mempunyai roh pelindung untuk tanah dan hutan masing-masing. Untuk mempersonifikasikan, tiap Barong yang mewakili, mereka gambarkan sebagai hewan yang berbeda-beda.
Ada yang menyimbolkan babi hutan, harimau, ular atau naga, dan singa. Menurut sejarah, seni Barong Kudus lahir sejak lebih dari 400 tahun silam, digagasn oleh Ki Ghede Loram dengan akar dari kisah Gembong Kamijoyo. Penyajian terkait kisah itu tercermin dari gerak tari, iringan, rias dan busana.
Para tokoh terdiri atas Singo Barong, Penthul, Temben, Bondet, Celeng, Genderuwon, dan pemain kuda kepang. Dengan mengarak Barongan ke rumah-rumah penduduk, panitia HUTRI atau pantia kegiatan lain yang membutuhkan dana spontanitas, meminta sumbangan seikhlasnya. Sayang, kesenian tradisional itu sekarang mengalami penurunan minat dan eksistensi.
Realitas itu setidak-tidaknya ini bisa dilihat dari penyajian arak-arakan yang berbeda dari 10-15 tahun lalu. Jika dahulu penyajian atraksi kesenian itu masih diisi tokoh yang lengkap, kini hanya diisi tokoh utama Singo Barong, dan kuda lumping. Demikian pula peralatan yang digunakan. Kesenian itu kini berkesan seadanya dan tak terpelihara baik secara budaya.
Era Modern
Modernisme memang sering berhadapan dengan wajah-wajah kearifan lokal, termasuk kesenian tradisional. Kesenian adiluhung yang menyimpan nilai-nilai religiospiritual tinggi dalam lokalitasnya, sering dipandang bertentangan dengan modernisme yang mengedepankan akal rasionalitas.
Inilah kiranya yang tengah melanda kesenian Barongan Kudus. Sebagian masyarakat, terutama kaum muda, cenderung memandang kesenian itu katrok, ketinggalan zaman, dan mereka lebih memilih budaya pop kekorea- koreaan atau kebarat-baratan. Alhasil, kesenian tradisional Kota Keretek tersebut miskin peminat dan regenerasi untuk melanjutkan.
Rasanya perlu melakukan sedikit sentuhan inovasi agar kesenian tersebut tak lekang oleh zaman, bahkan hilang tergerus perguliran era digital ini. Upaya itu bisa dilakukan dengan menambahkan alat musik modern dalam pementasan supaya berkesan mengikuti zaman tapi dengan tetap menjaga ‘’roh’’ kesenian itu. Bisa pula dengan membenahi kostum. Perlu perhatian dari Pemkab dan DPRD Kudus, bersama bersama- sama masyarakat, utamanya budayawan di Kota Keretek.
Perhatian pemerintah terhadap salah satu kesenian lokal itu perlu ditingkatkan mengingat Barongan hanya ditampilkan dalam acara penting, itu pun tanpa ada tunjangan pengembangannya.
Revitalisasi sekaligus pelestarian kesenian itu bisa menjadi salah satu agenda kerja Bupati Musthofa yang dilantik pada medio Agustus lalu. Harapannya, minimal kesenian itu bisa go national, sebagaimana reog Ponorogo. Selain mengaitkan dengan Visit Jateng 2013, upaya itu untuk lebih membumikannya di kalangan generasi muda.
— Noor Aflah, warga Kudus, mahasiswa penerima beasiswa berprestasi Kemenag di IAIN Walisongo Semarang
Dimuat di Suara Merdeka, 7 September 2013 dengan judul Revitalisasi Seni Barongan Kudus
Sumber: Suara Merdeka
0 Comments