Kompleks masjid, menara, dan makam di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah, adalah warisan membanggakan dari Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan atau Sunan Kudus, yang aktif pada abad ke-15 hingga 16 Masehi. Dari bangunan yang terletak di lahan 2.400 meter persegi itu masih terasa napas Hindu-Buddha sebagai cermin toleransi dan dakwah damai saat Islam menyebar di Kota Keretek tersebut.
MELEWATKAN malam hingga subuh di salah satu masjid peninggalan Wali Sanga boleh jadi salah satu pengalaman yang sakral bagi penganut agama Islam di Pulau Jawa. Tidak terkecuali di kawasan Masjid Menara Kudus.
Meski waktu sudah melewati pukul 00.00, masih saja ada jamaah yang berkumpul di pelataran masjid. Padahal, pengelola sudah menutup kompleks makam dan bagian dalam masjid.
Shalawat dan zikir masih saja dikumandangkan lantang oleh rombongan di bagian kanan masjid, dekat tempat wudu pria. Di ruang yang dahulu merupakan madrasah itu mereka khusyuk memanjatkan doa ziarah mengarah ke barat atau kiblat. Arah itu pas menuju arah kompleks makam Sunan Kudus dan kerabatnya. Tentu saja pemandangan tersebut juga dihiasi peziarah lain yang menumpang tidur di pelataran Masjid Al Aqsha –nama asli tempat ibadah itu.
Toleransi dan kedamaian Islam memang terasa pada area tersebut. Cukup melihat dari Jalan Menara, sudah tersaji ’’candi’’ yang menjulang hingga 18 meter dengan bahan bata merah. Sekilas tampak seperti Candi Jabung di Probolinggo, yang menjadi warisan khas Hindu dari Kerajaan Majapahit.
Dasar berbentuk mengerucut dan satu tangga yang berundak hingga ke ruang di atas. Yang berbeda, Menara Kudus masih menyimpan satu lagi ruang tepat di bawah atap yang dengan satu beduk dan dua kentongan.
Sayangnya, hingga saat ini asal usul menara itu belum bisa ditentukan. Masih ada perdebatan bahwa monumen tersebut sebenarnya sudah ada sebelum era Sunan Kudus.
Sebelum Kudus tercipta, wilayah tersebut disebut Desa Tajug. Tajug adalah desain atap limas yang akrab dengan budaya Hindu-Buddha.
’’Belum ada dokumentasi jelas soal Menara Kudus. Masih terbuka kemungkinan bahwa menara sudah ada sebelum berdirinya masjid,’’ ujar Edy Supratno, salah seorang pakar sejarah di Kabupaten Kudus.
Tetapi, peran Sunan Kudus dalam melakukan dakwah Islam yang menghargai kearifan lokal tetap terasa. Anak Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) itu mewariskan Masjid Al Aqsa yang satu kompleks dengan Menara Kudus tersebut.
Humas Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Denny Nurhakim memastikan informasi tersebut. Faktanya, bangunan saat ini sebenarnya hasil dari empat kali renovasi sejak berdirinya masjid pada 956 Hijriah atau 1549 Masehi.
Yang dipertahankan selama pembangunan tersebut hanya tiga. Yakni, mihrab (tempat imam untuk memimpin salat), gapura model kori agung di dalam dan serambi masjid, serta bendera yang diikat dalam dua tombak di samping mimbar khotbah.
Di sanalah petunjuk bagi generasi saat ini soal jejak syiar agama Sunan Kudus yang penuh tepa selira (toleransi, Red).
Gapura pertama hanya berjarak 27 langkah dari mihrab. Itulah yang menjadi patok bangunan awal Masjid Al Aqsa. Pintu masuknya dibentuk seperti itu agar masyarakat tidak canggung untuk masuk dan mendengarkan ceramah.
Satu titik dibiarkan menonjol tanpa cat di tembok belakang masjid yang berhadapan dengan makam. Itulah bagian belakang mihrab yang masih dilestarikan.
Sedangkan bangunan masjid yang lain sudah diubah sesuai dengan perkembangan jumlah umat Islam di Kudus. Yang jelas, prinsip untuk melestarikan keragaman budaya terus dipegang oleh ahli kompleks tersebut.
Salah satu jejak keragaman itu hiasan keramik yang menempel di bagian badan menara. Piring keramik itu punya warna biru yang hidup. Gambarnya adalah masjid, manusia, unta, dan pohon kurma. Ternyata, keramik tersebut merupakan karya dari era 1920-an. ’’Sudah kami periksa. Memang hiasan piring ini berasal dari Eropa. Kami juga mencatat memang ada pemugaran pada 1930 dengan memasang keramik di bagian tangga menara,’’ ungkapnya.
Meski begitu, jejak khas pada menara masih tetap abadi. Yakni, ornamen-ornamen yang merupakan ciri khas Kerajaan Campa. Kerajaan Islam tersebut pernah jaya di selatan Tiongkok, yang kini menjadi Vietnam. Karena itu, motif perpaduan Islam-Tiongkok-Hindu-Buddha terasa masih lestari. Misalnya, pakem mustaka (kepala menara), wuwungan (bubungan), hingga genting di setiap lekukan menara. (*/c4/dos)
Sumber: Jawa Pos
0 Comments