Setiap kali melihat orang memancing di sungai, saya selalu teringat lezatnya ikan beunteur goreng krispi dan ikan baung kuah santan. Entah bagaimana caranya bisa menikmati kelezatan ikan-ikan sungai Cisadane itu lagi.
Ikan-ikan tersebut tidak pernah diperjualbelikan di pasar. Dulu para pemancing menawarkan hasil tangkapannya ke rumah-rumah. Sekarang jarang sekali ada orang yang datang menawarkan ikan-ikan lokal tersebut. Bang Wis, tetangga saya yang sejak remaja sering memancing mengatakan, ikan sungai sekarang kian sulit dipancing.
"Sepertinya sudah sedikit juga jumlahnya," kata dia. Ia menduga praktik menangkap ikan dengan bahan peledak atau racun membuat jumlah ikan menurun tajam. Karena sedikitnya hasil pancingan sekarang, Bang Wis lebih sering mengolah ikan-ikan tersebut untuk dirinya sendiri atau dilepaskan lagi ke sungai.
Berbeda dengan masa tahun 1980-an hingga 1990-an, keluarga saya cukup sering mendapatkan ikan-ikan tersebut dari suami asisten rumah tangga kami yang menjadikan hobi memancing untuk mendapatkan penghasilan. Ia akan datang sore hari, menawarkan hasil pancingannya.
"Dapat ikan apa?" tanya ibu biasanya.
"Beunteurnya banyak, Bu."
Kalau sudah mendengar nama jenis ikan tersebut, ibu biasanya langsung membeli. Belum-belum sudah terbayang menu sedap nasi hangat, sambal, dan sayur lalap rebus.
Pemancing juga akan menyebutkan beberapa jenis ikan lain yang didapatnya sambil memperlihatkan isi keranjang dari jaring seukuran ember kecil. Banyaknya ikan yang ditawarkan itu hanya setangkup atau dua tangkup tangan orang dewasa. Itu sebabnya walau berbeda-beda jenisnya, ikan-ikan tersebut harus dibeli semua.
Ikan beunteur (Puntius binotatus) adalah ikan bertompel hitam di punggungnya, agak mirip ikan mas, tetapi ukurannya hanya setelapak tangan anak kecil. Kalau kurang ahli membersihkan isi perutnya, ikan ini akan terasa pahit. Selain itu ada juga paray (Rasbora argyrotaenia). Ikan ini mirip beunteur, namun lebih langsing dan sisiknya lebih berkilap. Ada juga baung yang mirip patin. Dibandingkan digoreng, ikan baung lebih sering diolah menjadi sup ikan kuah bening atau kuah santan.
Selain yang sudah disebut, jenis ikan lainnya dari Cisadane dan Ciliwung antara lain pepetek, genggehek (Mystacoleucus marginatus), senggal, leat, tambra, regis, benter, berod, betok (Anabas testudineus), sero, hampala (Hampala macrolepidota), arelot, dan kancra.
Banyak masyarakat Bogor merasa asing mendengar nama-nama ikan tersebut karena bukan jenis ikan yang diperjualbelikan di pasar. Begitu juga bentuknya, tak banyak lagi yang mengenalinya. Padahal jenis ikan di Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung yang mengalir dari Bogor ke Jakarta ini tinggal sedikit sekali. Mungkin jenis-jenis ikan di atas juga sudah ada yang hilang.
Berdasarkan buku Indonesia Biodiversity, Strategy and Action Plan 2015-2020, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane pada tahun 1910 terdapat sekitar 150 jenis ikan. Tetapi tahun 2010 jumlahnya kurang dari 50 jenis. Sementara di DAS Ciliwung dari 200 jenis ikan tersisa kurang dari 30 jenis pada 2010.
Keadaan serupa terjadi di DAS Citarum yang digolongkan sebagai sungai paling tercemar di dunia. Berdasarkan data dari Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam penelitiannya tentang Degradasi Keanekaragaman Ikan Asli di Sungai Citarum, keberadaan ikan asli Citarum seperti ikan lika (Wallago attu), keting (Mystus micrachantus), arengan (Labeo crysophaekadion), balidra (Chitala lopis), jambal (Pangasius djambal), tambakan (Helostoma elongatus), gurame (Osphoronemus gouramy), dan tilan (Macrognathus aculeatus) sudah langka.
Pada Maret hingga April 2021, Ecological Observation and Wetlands Conservation Ecoton bersama Komunitas DAS Citarum, Ciujung Institute, dan Ciliwung Institute menginventarisasi keanekaragaman jenis ikan di sungai-sungai di Jawa. Penelitian menunjukkan, Bengawan Solo kehilangan 20 jenis ikan dan Sungai Brantas kehilangan 35 jenis ikan selama 30 tahun.
Tim gabungan yang meneliti sungai-sungai di Jawa juga menyatakan limbah industri yang dibuang ke sungai menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut dalam air yang merusak rantai makanan. Limbah tersebut menimbulkan lapisan licin dan beracun di dasar sungai. Padahal ikan membutuhkan dasar sungai yang kasar dan berbatu untuk meletakkan telur. Karena dasar sungai tercemar, telur ikan mati atau hanyut.
Dalam kehidupan sehari-hari, para pemancing lokal merupakan kelompok masyarakat yang cukup intens memperhatikan kondisi sungai dan ikan di dalamnya. Mereka tidak hanya memiliki Pengetahuan tentang ikan lokal yang menghuni sungai-sungai di sebuah daerah, tetapi juga tahu lebih detail lokasi ikan-ikan tertentu berada. Misalnya untuk kawasan sungai di Bogor, dari para pemancing bisa didapat informasi tentang ikan baung masih bisa ditemukan di aliran sungai sekitar Cibinong, ikan beunteur di sekitar Sempur, ikan hampala di daerah Keradenan, dan lainnya.
Kesadaran para pemancing tentang hilangnya berbagai jenis ikan lokal di sungai-sungai sekitar mereka cukup tinggi. Beberapa komunitas pemancing lokal mengadakan mancing bareng dan bertukar informasi tentang keberadaan ikan lokal. Di Kota Bogor misalnya, pernah dilaksanakan lomba mancing untuk kelas soro terbesar dan terbanyak, kelas senggal terbesar dan terbanyak, juga memancing kelas beunteur, paray, belot, jeler, kehkel, ramo terbanyak. Kegiatan memancing di sungai dilengkapi dengan edukasi kebersihan sungai.
Kegiatan memancing selain memiliki unsur relaksasi, juga dapat menumbuhkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sungai. Keberhasilan Kanada memulihkan White River yang tercemar limbah kimia dan menggerakkan wisata memancing bisa dijadikan pelajaran.
Pada akhir 1999, ikan-ikan di White River mati dan telur-telur gagal menetas karena sungai tercemar bahan kimia yang dibuang sebuah perusahaan melalui saluran pembuangan kota. Kasus ini diselesaikan dengan mendenda perusahaan sebesar 14,2 juta dolar. Dana tersebut digunakan untuk restorasi sungai. Dilaksanakan juga program pendukung lainnya antara lain penanaman pohon dan pembersihan sampah di sekitar sungai, pembersihan sungai, pembangunan kawasan konservasi permanen untuk melindungi habitat di sepanjang sungai, penebaran kembali jenis-jenis ikan bersama berbagai kelompok masyarakat, dan peluncuran Kano Perkinsville untuk wisata telusur sungai dan memancing.
Setelah 20 tahun berlalu, White River menjadi sungai terbaik yang menjadi tujuan wisata memancing yang berfokus pada pendidikan serta konservasi ikan. Para wisatawan ditemani pemandu diajak menyusuri sungai dan memancing. Tidak hanya wisata memancingnya digemari, konservasi sungai juga berjalan pesat di bawah pemantauan lembaga pelestarian alam.
Andaikan Indonesia bisa menjalankan program pemulihan seperti Kanada, kelestarian sungai akan terjaga, ikan-ikan bisa diselamatkan, dan generasi mendatang juga dapat merasakan betapa lezatnya ikan-ikan sungai kita.
Sumber: Detik News
0 Comments