Lebaran, Syekh Yasin dan Kenangan Muktamar NU di Semarang 1979

Oleh: Ulil Abshor Abdalla


Salah satu "menu sosial" yang wajib saya santap setiap lebaran tiba adalah mengunjungi kerabat-kerabat dari pihak ibu saya. (Nama ibu saya: Salamah).

Ibu saya adalah puteri Kiai Muhammadun dari desa Pondowan, (ada di Kecamatan Tayu, Pati, Jawa Tengah; kira-kira 100 km ke arah timur kota Semarang, ibu kota propinsi).

Lebaran tahun ini agak spesial bagi saya, karena saya menemukan beberapa hal yang mengingatkan saya pada sejumlah kejadian penting di masa lampau. 

Kemaren, sebagaimana kebiasaan yang saya lakukan setiap lebaran, saya "sowan" ke Kiai Aniq Muhammadum, adik kandung ibu saya, dan salah satu putera Kiai Muhammadun yang melanjutkan "trah" kekiaian beliau. 

Kiai Aniq tinggal di desa Pakis (terletak di sebelah timur desa Pondowan). Kiai Aniq mengasuh Pesantren Mamba'ul Ulum (nama ini diambil dari nama pesantren yang didirikan oleh Kiai Muhammadun, ayahanda Kiai Aniq). 

Saat berada di rumah Kiai Aniq inilah saya melihat "sticker" yang tertempel di almari. Itu bukan sticker biasa yang sering kita lihat di kota-kota sekarang, kerap tertempel di bumper mobil, dan berisi kata-kata "propaganda" seperti: Islam is the solution, Jesus is my saviour.  

Ini sticker yang langsung membawa saya ke kenangan tentang masa lampau yang jauh. Ini adalah sticker Muktamar NU ke-26 yang berlangsung pada 5-11 Juni 1979. 

Bagi keluarga kakek kami, Kiai Muhammadun Pondowan, muktamar ini membawa kenangan yang khusus. Sebab di muktamar inilah hadir kiai besar dari tanah haramain (=nama untuk dua kota suci Islam: Mekah dan Madinah), kiai yang sering disebut sebagai "musnid al-dunya" (jagonya "sanad" di dunia saat itu), kiai yang sangat dihormati oleh para ulama di Jawa dan tanah Melayu, karena dianggap sebagai sosok yang mempertahankan aqidah ahlussunnah wal jamaah di Saudi Arabia, di tengah-tengah gempuran ideologi wahabisme. 

Kiai itu tiada lain ialah Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani. Sebutan "al-Fadani" pada nama itu menunjukkan bahwa Syekh Yasin adalah berasal dari Padang. Orang tua Syekh Yasin memang berasal dari Padang. Tetapi beliau belajar dan akhirnya mengajar hingga meninggal di Mekah. 

Syekh Yasin mengarang banyak kitab, terutama kitab-kitab yang berisi koleksi sanad yang sangat populer di kalangan kiai-kiai NU di Jawa. 

Ya, kiai besar ini hadir di Muktamar NU di Semarang itu. Tetapi bukan semata-mata kehadiran di Muktamar itu benar yang penting. Yang jauh lebih penting adalah bahwa usai Muktamar itu, Syekh Yasin menyempatkan berkunjung ke kediaman kakek saya di desa Pondowan.

Kehadiran Syekh Yasin di desa kakek saya itu merupakan "social event" sendiri yang menghebohkan. Saya masih ingat, saya diajak ayah saya (Kiai Abdullah Rifa'i) untuk menyambut "rawuh"-nya (datangnya) kiai besar dari tanash suci itu. 

Waktu itu saya masih kecil, berumur 12 tahun. 

Saya, saat itu, tentu belum tahu apa-apa tentang siapa Syekh Yasin. Tetapi melihat betapa banyaknya para kiai, santri dan orang-orang yang menyambut kedatangan syekh dari haramain itu, saya jadi mafhum bahwa tentulah ini kiai besar, kiai yang menjadi pusat penghormatan kiai-kiai Jawa.

Saat kakek saya pergi haji untuk yang kedua kali pada 1977, beliau menyempatkan untuk tinggal beberapa saat di rumah Syekh Yasin untuk belajar pada beliau. 

Paman saya, Kiai Aniq Muhammadun, menceritakan anekdot kecil tentang kunjungan Syekh Yasin itu. Rumah dan pesantren kakek saya terletak di pinggir sawah dan dikelilingi oleh hutan kecil dan agak terpisah dari kampung di sekitarnya -- mirip semacam perguruan shaolin di China.

Saat menjejakkan kaki di halaman rumah kakek saya itu, Syekh Yasin terpana melihat pandangan di sekitarnya: beliau melihat begitu banyak pohon. Dia bertanya, "Hadzihi ghabah? Fii asad?"  Maksudnya: Ini hutan ya? Ada harimau di sekitar sini? 

Ayah saya adalah kiai kecil di desa Cebolek. Dia adalah murid dan sekaligus menantu Kiai Muhammadun. Dia berkesempatan hadir di Muktamar di Semarang yang (menurut tuturan ayah saya waktu saya masih kecil dulu) diadakan di hotel besar satu-satunya di Semarang. Yaitu Hotel Metro.

Melihat sticker di rumah paman saya itu saya langsung ingat ke masa lampau yang jauh.

Ya, sebuah sticker yang sederhana bisa menjadi tak sederhana, menjadi "extra-ordinary" karena ia menjadi penanda bagi sebuah ingatan, bagi sebuah konteks historis yang sangat kaya dan rumit.

Inilah sticker itu:




Post a Comment

0 Comments