Larangan Kurban Sapi di Kudus

Memasuki bulan Zulhijah setiap Muslim yang mendapat rezeki lebih mulai menyiapkan ibadah kurban. Mereka membeli sapi atau kambing selayaknya amanat yang bersumber dari kisah Nabi Ibrahim. Namun ketika berkunjung ke Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, pada saat Iduladha, tidak akan ditemukan seekor pun sapi yang disembelih. Tepat di hari raya Islam terbesar ke dua setelah Idulfitri ini, hewan kurban sapi diganti dengan puluhan ekor kerbau yang siap disembelih dan dibagikan kepada mereka yang berhak.

Keberadaan kurban sapi di Kota Kretek masih dianggap pantangan oleh sebagian warganya. Keyakinan ini bermula dari legenda salah satu anggota dewan dakwah Walisongo, yakni Sunan Kudus yang kala itu mengeluarkan fatwa larangan berkurban menggunakan sapi. Sebagaimana banyak diketahui, Walisongo adalah jaringan penyebar Islam di Jawa yang diyakini hidup pada abad 14.

Ajaran toleransi Sunan Kudus

Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Kudus merupakan daerah taklukan Kerajaan Demak dari Kerajaan Majapahit. Sebagian besar warganya memeluk agama Hindu. Oleh sebab itu, sapi yang dianggap sebagai hewan yang disucikan oleh para penganutnya menjadi pertimbangan bagi Sunan Kudus dalam mengenalkan ajaran Islam, terutama perihal perintah kurban.

"Paling tidak bisa dilihat bahwa Sunan Kudus bukan saja ahli fikih sebagaimana layaknya seorang kadi, tetapi juga seorang sufi yang beraneka ragam sumbernya," tulis C. Guillot dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia.

Sikap toleran yang dimunculkan Sunan Kudus akhirnya mengetuk hati penduduk sekitar. Satu per satu dari mereka berduyun-duyun untuk menanyakan lebih lanjut ajaran yang dibawa, Sunan Kudus pun dengan mulus menjelaskan secara mudah dan terang hingga mereka diantarkan memeluk ajaran Nabi Muhammad dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

"Sunan Kudus juga menambatkan seekor sapi jantan yang gemuk di pintu gerbang bekas perbatasan Kerajaan Majapahit. Masyarakat pun tertarik menyaksikan sapi yang merupakan hewan terhormat dalam agama Hindu," tulis Yudiono K.S dalam Cerita Rakyat dari Kudus.

Semangat toleransi Sunan Kudus juga bisa dibaca melalui karya-karyanya di Masjid Menara Kudus. Semisal pancuran atau tempat penampung air untuk berwudu yang berjumlah delapan. Itu ia adopsi dari ajaran Budha, yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang banyak dianut penduduk masa tersebut. Prinsip perpaduan budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, ia lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan pura di Bali.

Sumber dari sini.

Post a Comment

0 Comments