Legenda Membangun Masjid Mantingan, Loram dan Tajug Masjid Menara


Tahukah Anda bahwa di Masjid Mantingan yang memiliki kompleks peribadahan seluas hampir dua hektar terdapat cungkup atau rumah pekuburan dan beberapa makam? Makam yang berada di dalam cungkup tersebut adalah Sultan Hadlirin bersama kedua istri dan anak angkatnya, suami istri Sungging Badar Duwung, dan pengawal.

Baik Dinas Purbakala maupun Pemerintah Daerah selalu memberi fasilitas atau prasarana yang menunjang untuk peningkatan kemanfaatan kompleks peribadahan umat muslim ini. Banyaknya pengunjung Masjid Mantingan bisa mencapai seribu orang setiap hari. Tentu jumlah kunjungan sebesar ini mampu menjadikan Masjid Mantingan sebagai salah satu tempat wisata bersejarah di Kabupaten Jepara. Lalu, bagaimana asal-usul pendirian Masjid Mantingan hingga berkembang menjadi obyek wisata bersejarah di Jepara seperti sekarang?

Legenda Ratu Kalinyamat
Menurut cerita rakyat yang berkembang di Mantingan dapat dituturkan asal-usul pembangunan Masjid Mantingan seperti berikut ini. Pada jaman dahulu terdapat seorang putri Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak Bintoro yang bernama Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat berkedudukan di Jepara dan menguasai daerah yang meliputi Pati, Rembang, dan Blora. Wajah dan perawakan Ratu Kalinyamat sangat menarik dan menggiurkan kaum pria sehingga banyak pangeran yang tergila-gila kepadanya.

Dalam mencari jodoh Kalinyamat selalu taat kepada mendiang ayahnya. Sultan Trenggono pernah mengatakan bahwa jodohnya adalah seorang pangeran yang berwatak ksatria dan berasal dari luar Pulau Jawa. Puluhan pangeran dan pemuda yang mengaku dirinya dari luar Jawa berdatangan untuk mengadu jodoh dengan sang ratu. Tentu saja Ratu Kalinyamat bingung pangeran mana yang akan menjadi suaminya yang sejati.

“Ah, kalau memang jodohku seorang ksatria asIi tentu tidak akan mau mengganggu aku sebelum resmi menjadi suami istri. Baiklah pangeran dan pemuda yang menginginkan aku harus saya coba lebih dahulu,” gumam sang putri cantik. Ratu Kalinyamat adalah seorang putri yang cerdas dan tidak mudah tergoda wajah tampan para pangeran yang melamarnya. Ia memikirkan cara agar dapat memilih pria terbaik yang akan menjadi suaminya kelak.

Ratu Kalinyamat Mencari Jodoh
Setiap pangeran dan pemuda yang menarik hatinya diterima dengan tangan terbuka dan dengan disertai senyum dan roman muka yang manis. Maka para pangeran itu sepeti mendapat sambutan sang putri cantik. Mereka merasa yakin dapat memperistri sang putri. Ternyata selama itu tidak ada seorangpun pangeran yang datang padanya dan berwatak ksatria. Mereka hanya menginginkan keindahan tubuhnya saja. Maka tidak sedikit pangeran serta pernuda yang berani menjamah tubuh sang ratu dibunuhnya.

Belum beranak sudah ditimang. Berbulan-buan ia menantikan kedatangan jodohnya yang tulen, bagaikan menanti kedatangan suami yang baru pergi meninggalkannya, ia rindu kepadanya. Maka maka dalam suasana rindu dan duka itu datanglah seorang pemuda yang berpakaian sangat sederhana bermaksud akan mengabdikan diri. Sebagai seorang ratu yang adil dan bijaksana, maka diterimanya lamaran pemuda itu, dan diberi tugas sebagai tukang kebun istana.

Dalam beberapa hari saja pemuda itu sudah bisa menunjukkan hasil kerjanya yang baik. Sejak kedatangannya, dari hari ke hari pemuda itu selalu diperhatikan oleh sang ratu. Sang ratu memperhatikan cara kerjanya, kebiasaannya sehari-hari, budi bahasanya, ketampanan wajahnya dan sinar muka si tukang kebun. Semua itu dilakukan oleh Ratu Kalinyamat dengan diam-diam namun selalu dicatat di sanubari sang ratu.

Ratu Kalinyamat diam-diam telah jatuh cinta kepada si tukang kebun. Siang dan malam ia memperhatikan pemuda itu. Lama kelamaan tiada tahan lagi menyimpan catatan, maka dibukanya lembaran-lembaran dalam hatinya itu. Pada suatu senja dipanggilnya si tukang kebun itu untuk menghadap langsung kepada Ratu Kalinyamat.

“Melihat tingkah lakumu serta hasil kerjamu saya sangat tertarik. Maka sebenarnya siapakah namamu, dan dari manakah asal-usulmu?” Ratu Kalinyamat membuka percakapan.

“Hamba ini orang hina, tiada bernama, sejak kecil tak tahu orang tua. Hamba tiada ayah- ibu, tiada sanak-saudara, dan tiada rumah tempat tinggal,” jawabnya dengan lemah- lembut, sopan serta sikap menunduk. Pemuda itu menaruh hormat tinggi kepada sang ratu sehingga ia tidak berani menatap wajah Ratu Kalinyamat.

Ujian Cinta Sang Ratu
Mendengar jawaban pemuda itu yang tidak sesuai harapannya menjadikan sang ratu menjadi jengkel. Tetapi anehnya sang ratu semakin menaruh hati terhadap pemuda itu. Pemuda itu sangat berbeda dibandingkan dengan pemuda-pemuda lainnya yang sudah ia temui. Pemuda itu nyatanya tidak tergoda sedikitpun oleh kecantikan wajah dan keindahan tubuh Ratu Kalinyamat. Sang ratu tidak kehilangan akal. Seolah sudah hilang sifat malu dan wibawa seorang putri raja, pemuda itu akan dijebaknya dengan permainan mautnya.

Pada suatu malam diajaknya pemuda itu ke kamar hiasnya yang rapi, bersih lagi romantis. Mulailah sang ratu menghias diri diselingi dengan rayuan kata-kata manis. Kemudian sang ratu berganti pakaian, bahkan tidak segan-segan dipertontonkan lekuk tubuh indah itu di hadapan pemuda yang makin menjengkelkan hatinya itu. Sekali lagi pemuda itu tidak tergoda untuk menyentuh tubuh indah sang ratu.

Sambil meneruskan berhias maka berpikirlah ia, “Segala bujuk rayu dan tubuh molekku tiada juga digubrisnya. Mengapa ia tidak menyergapku? Ketabahan mentalnya bagaikan baja yang sukar ditembus, tak dapat diliukkan, luar biasa!”

Jengkelnya makin menjadi-jadi, ia sendiri yang ingin menyergap pemuda itu tetapi hati kecilnya menahan, jantungnya berdebar sambil menahan napasnya panjang-panjang. Ia mengambil sikap terakhir untuk membuka tabir pada diri pemuda itu. Cepat-cepat Ratu Kalinyamat memerintahkan untuk menangkap pemuda itu dan kemudian menanyainya. Apabila tidak mendapat jawaban yang jelas, maka pemuda itu harap dibunuhnya.

Maka, setelah perintahnya dijalankan pemuda itu terus terang mengutarakan hal ikhwalnya di hadapan Ratu Kalinyamat. Namanya Raden Toyib, putra Sultan Mukhayat Syah dari Aceh. Sebenarnya ia telah diangkat menjadi Raja Aceh menggantikan ayahnya menjadi sultan, tetapi Raden Takyin yaitu kakaknya, selalu merongrong pemerintahannya. Maka jabatan itu diserahkan kakak kandungnya dan Raden Toyib memutuskan berlayar ke luar pulau.

Asal-usul Raden Toyib
Raden Toyib kemudian pergi memperdalam ilmu agama Islam dan menambah pengalamannya di negeri Campa. Di negeri Campa ia diambil anak angkat oleh patih kerajaan yang bernama Tji Wie Gwan. Sebagai seorang muslim yang shaleh Raden Toyib dalam waktu dekat mampu merebut hati kalangan raja dan bahkan segenap istana Kerajaan Campa. Bahkan sang patih yang menjadi bapak angkatnya dengan penuh kesadaran mengikutinya beralih agama memeluk Islam.

Pada suatu ketika Raja Campa marah-marah, karena mahkota yang sangat indah yang paling disenangi tampak retak dan sedikit rusak. Sudah banyak para ahli didatangkan untuk memperbaikinya, namun tidak seorangpun yang dapat memperbaiki seperti yang dimaksud oleh raja. Raja Campa gusar dan marah. Ia memutar otak dan mencari cara agar mahkota kesayangannya bisa kembali baik seperti semula.

Secara kebetulan dan tidak diduga sebelumnya, bahwa patih Tji Wie Gwan didakwa mempunyai suatu kesalahan. Dan soal mahkota dibebankan kepadanya untuk diperbaikinya. Patih Tji Wie Gwan harus mampu memperbaiki mahkota raja dan apabila tidak dapat dilakukan, maka ia akan dijatuhi hukuman penggal. Sang Patih terkejut mendengar putusan Sang Raja. Bagaimana mungkin ia mampu memperbaiki mahkota raja sedangkan sudah banyak ahli pembuat perhiasan telah gagal melaksanakannya.

Dalam suasana kegelapan jiwa karena ancaman jatuhnya hukuman penggal atas diri patih itu, maka Raden Toyib menyanggupkan diri untuk memperbaiki mahkota seperti sediakala sebagai balas budi baik kepada patih, bapak angkatnya itu. Raden Toyib tidak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan keadaan bapak angkatnya. Maka Raden Toyib segera memegang mahkota raja dan berdoa sejenak.

Raden Toyib kemudian meniupkan seruling ajaibnya yang berfungsi sebagai pemanggil jin. Maka beratus-ratus jin berdatangan menghadap Raden Toyib. Setelah diuraikan maksudnya, maka dalam sekejap mata mahkota yang rusak itu menjadi baru kembali, pulih bersih dan bercahaya-cahaya. Patih pun tidak jadi dipenggal, kesalahannya pun diampuni, bahkan tidak sedikit mendapat hadiah anugerah.

Demikian pula Raden Toyib tidak ketinggalan. Bahkan demi didengar kesaktian Raden Toyib, maka akan diperjodohkan dengan putrinya namun Raden Toyib menolak tawaran tersebut secara halus. “Hamba sangat berterima kasih atas pemberian hadiah itu, tetapi maafkan, tentang perkawinan hamba belum bisa melaksanakannya,” demikian jawabnya.

Raden Toyib Menikahi Ratu Kalinyamat
Setelah lima tahun berada di negeri Campa, maka Raden Toyib bermaksud kembali ke tanah airnya untuk menyebarkan agama Islam. Dan waktu itu tahun 1530, Raden Toyib dapat mendarat di Pelabuhan Jepara yang cukup besar dan ramai. Pakaian-pakaian baik bawaan dari Campa diberikan kepada fakir miskin di Jepara. Sedangkan ia sendiri cukup mengenakan pakaian sederhana. Sambil menyiarkan agama Islam, makin lama daerahnya meluas, dan sampailah ia bertemu dengan jodohnya, Ratu Kalinyamat.

Syahdan, pertemuan Raden Toyib dengan Ratu Kalinyamat telah diatur oleh Tuhan dan keduanya berjodoh sebagai seorang suami-isteri. Maka dilaksanakanlah pesta adat keraton menyambut perkawinan Ratu Kalinyamat dengan Raden Toyib secara besar- besaran. Masyarakat setempat merasa bahagia karena memiliki raja dan ratu ideal sesuai yang mereka harapkan. Setelah resmi menjalani perkawinan, maka dengan resmi pula nama Raden Toyib diganti dengan nama Sultan Hadlirin.

Meskipun ia sudah menjadi sultan, namun ia tidak lupa dengan bapak angkatnya. Maka bapak ibu angkatnya segera dijemput ke Campa, dan diboyong ke Jepara. Kemudian kedua orang tua Sultan Hadlirin diangkat menjadi mahapatih. Kebahagiaan duniawi dirasa sangat berlimpah-limpah oleh masyarakat yang dipimpinnya. Demikian pula dengan Ratu Kalinyamat merasa bahagia karena berhasil memiliki seorang suami berupa lelaki pilihan yang tidak mudah tergoda keindahan duniawi.

Kehidupan pasangan raja dan ratu itu menjadi begitu melegenda di kalangan masyarakat Jawa, terutama sosok Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat adalah simbol kecantikan wanita Jawa dan menjadi idola bagi banyak gadis desa. Sifat tegas Ratu Kalinyamat dalam menolak pria yang tidak berwatak ksatria menginspirasi banyak masyarakat Jawa untuk menirunya. Namun pada akhirnya, masyarakat juga sadar bahwa secantik apapun seorang ratu pada akhirnya ia akan kalah oleh pesona seorang pemuda berwatak ksatria seperti yang ditunjukkan oleh Sultan Hadlirin.

Sultan Hadlirin Menikah Lagi
Perkawinan Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat berlangsung bahagia. Selama bertahun- tahun mereka berdua memimpin kerajaan dengan adil dan sentosa. Namun ada satu hal yang mengkhawatirkan Ratu Kalinyamat mengenai siapa kelak yang akan melanjutkan riwayat Kerajaan Jepara, karena perkawinannya tidak mempunyai keturunan. Maka dengan rendah hati disarankan agar suaminya memperistri putri lagi agar menghasilkan keturunan.

Pada awalnya Sultan Hadlirin menolak saran istrinya agar ia menikah lagi. Ia begitu menyayangi Ratu Kalinyamat sehingga tidak terlintas pikiran untuk mencari wanita lain sebagai pendamping hidupnya. Namun Ratu Kalinyamat sekali lagi mengutarakan maksudnya agar Sultan Hadlirin menikahi seorang gadis yang mampu memberinya keturunan. Ratu Kalinyamat menyadari bahwa ia memiliki kekurangan tidak bisa hamil. Sultan Hadlirin memikirkan saran tersebut selama berhari-hari.

Demi kelangsungan sejarah Kerajaan Jepara, maka kawinlah Sultan Hadlirin dengan Raden Ayu Prodo Binabar, putri Sunan Kudus. Pernikahan Sultan Hadlirin dengan putri Sunan Kudus juga berlangsung bahagia. Kedua isteri Sultan Hadlirin hidup rukun berdampingan layaknya kakak dan adik yang saling menjaga. Namun takdir berkata lain karena pada perkawinan Sultan Hadlirin yang kedua ini ia juga tidak mempunyai keturunan. Akhirnya diantara mereka bertiga diputuskan untuk mengambil anak angkat Dewi Wuryan Ratnawati, putri Sultan Banten.

Pada suatu waktu Sultan Hadlirin mempunyai kesulitan baik berhubungan dengan masalah keluarga maupun permasalahan kerajaan. Untuk memecahkan hal yang sulit dan rumit itu diperlukan tempat yang agak sunyi agar dapat tenang. Untuk itu ditemukan tempat dekat makam Syeh Siti Jenar. Di tempat sepi itulah ia berdoa dengan khidmat seraya memohon petunjuk kepada Tuhan. Demikian pula seterusnya apabila ada kepentingan, maka dipakailah tempat itu untuk memecahkannya. Sehingga tempat tersebut dinamakan Mantingan.

Sejarah Masjid Mantingan
Selanjutnya Sultan Hadlirin bersama Ratu Kalinyamat merencanakan untuk mendirikan sebuah masjid di daerah Mantingan itu. Maka dengan pertolongan ayah angkatnya dan ditangani sendiri langsung oleh Tji Wie Gwan, mahapatih sekaligus bapak angkatnya, akhirnya pada tahun 1559 Masehi atau 1481 tahun Saka mulai dibangun Masjid Mantingan. Menurut condro sengkolo yang berbunyi: Rupo Brahmono Warno Sari berdirilah masjid yang indah di Mantingan.

Maha patih ini memang mempunyai otak cerdas dan keahlian mengukir yang cukup mengagumkan. Oleh karena keahliannya itu maka nama Tji Wie Gwan diganti dengan nama Sungging Badar Duwung oleh Sultan Hadlirin. Adapun arti nama itu adalah Sungging berarti ahli ukir, Badar berarti batu, dan Duwung berarti tanah. Demikian sejarah pembangunan Masjid Mantingan dimulai.

Hiasan yang mewarnai dinding masjid dan makam di kompleks Mantingan sebagian besar terdiri dari batu putih yang berukir dengan motif bunga. Keahlian mengukir Tji Wie Gwan ini diwarisi oleh masyarakat sekitarnya, yang dapat kita hayati bahwa sampai sekarang hasil karya ukir ahli-ahli ukir Jepara sangat terkenal. Ahli-ahli ukir terkenal Jepara mengakui bahwa Sungging Badar Duwung adalah cikal bakal dan asal-usul seni ukir Jepara.

Konon Sungging Badar Duwung juga mendirikan masjid di daerah Ngloram Kudus, Tajug masjid Sunan Kudus juga hasil karyanya. Sungging Badar Duwung telah menjadi tokoh sentral dalam pengembangan seni ukir di Kota Jepara. Saat ini Kota Jepara telah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata budaya di Jawa Tengah. Daya tarik wisata Kota Jepara bukan hanya dari hasil kerajinan ukiran yang indah, tetapi juga dari nilai-nilai historis yang terkandung dalam tempat wisata sejarah di Jepara.

Itulah sejarah dan asal-usul pembangunan tempat wisata bersejarah Masjid Mantingan di Kota Jepara. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan Anda untuk lebih mencintai warisan budaya Nusantara yang tampak pada banyak obyek wisata sejarah di Nusantara. Mari jalan-jalan keliling Indonesia!

Daftar Pustaka:

Sunaryo, BA. 1984. Mengenal Kebudayaan Daerah. Tiga Serangkai:  Solo

Tulisan sepenuhnya diambil dari sini.

Post a Comment

0 Comments