Pesan Toleransi Sunan Kudus

Ada yang unik di kompleks Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, setiap perayaan hari raya Idul Adha. Di kala setiap masjid berkurban sapi, kambing, dan kerbau, Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus hanya berkurban kerbau dan kambing, bukan sapi.

”Setiap Idul Adha, kami selalu menyembelih kerbau, bukan sapi. Kami melanggengkan tradisi itu karena peninggalan Sunan Kudus,” kata anggota staf Dokumentasi dan Sejarah Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK), Denny Nurhakim,.

Biasanya, tradisi kurban itu digelar dua hari setelah Idul Adha. Pada tahun 2013 yang lalu, yayasan ini menyembelih 11 kerbau dan 22 kambing yang dagingnya akan dibagikan kepada lebih kurang 5.000 orang miskin, apa pun agamanya.

Mengapa tidak menyembelih sapi? Tradisi itu bermula dari ajaran Sunan Kudus atau Djakfar Sodiq, salah satu Wali Songo yang pernah jadi panglima perang Kerajaan Demak di zaman pemerintahan Sultan Patah.

Sunan Kudus berkarya di Kudus setelah mendapat tanah perdikan dari Sultan Patah bernama Desa Tajug. Pada waktu itu atau sekitar abad ke-15, Tajug merupakan desa dengan sebagian besar penduduknya menganut agama Hindu.

Sunan Kudus mengembangkan Tajug layaknya kota Al- Quds di Filistin. Di zaman khalifah Umar bin Khatthab, Al-Quds jadi kekuatan Islam setelah Mekkah dan Madinah.

Umar mampu mengislamkan kota itu dengan penuh kedamaian tanpa pengusiran dan pembunuhan musuh. Tak ada darah lawan yang ditumpahkan, dan tidak ada gereja atau sinagoga yang dihancurkan. Umar memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk memeluk keyakinannya yang lama sehingga mereka hidup berdampingan.

Di Tajug, Sunan Kudus memilih menyebarkan agama Islam melalui pendekatan budaya. Dia melakukan syiar Islam tidak dengan jalan pedang, perang, dan paksaan, tetapi menggunakan strategi kebudayaan. Misalnya, untuk menghormati pemeluk agama Hindu, Sunan Kudus melarang pengikutnya menyembelih sapi karena bagi umat Hindu sapi adalah binatang yang disucikan.

Tradisi memudar

Tak heran jika Sunan Kudus memilih nama Al-Quds sebagai pengganti Dusun Tajug. Al-Quds kemudian lebih dikenal dengan Kudus. Novelis dan kartunis Nassirun Purwokartun dalam novel sejarahnya, Penangsang, Tembang Rindu Dendam, melukiskan penciptaan keberagaman Dusun Tajug dengan apik.

”Islam adalah rahmatan lil ’alamin, rahmat bagi semesta alam. Umat Islam mestinya mampu meniru lebah. Ia tidak pernah merusak atau menghancurkan bunga yang diisapnya. Bunganya justru mekar karena kerja sang lebah. Demikian semestinya umat Muslim bersikap dan bertindak.”

Dengan berjalannya waktu, tradisi menyembelih kerbau di Kudus mulai memudar seiring dengan perkembangan zaman. Kudus dahulu ketat dengan larangan tidak menyembelih sapi di dalam kota Kudus, sekarang hal itu sudah lazim, terutama saat Idul Adha.

Ketua YM3SK Nadjib Hassan memaklumi hal itu karena zaman tetap berubah dan generasi terus berganti. Islam tidak melarang penyembelihan sapi di Kudus. Larangan hanya diserukan Sunan Kudus untuk menghormati pemeluk agama Hindu.

”Kami hanya ingin melanggengkan tradisi itu melalui kurban kerbau di Masjid Menara Kudus. Pesannya sama, yaitu ajakan kepada masyarakat untuk menjunjung tinggi toleransi antar-pemeluk agama dan sesama manusia,” kata Nadjib.

Penulis Al-Quds, Jerusalem in Java, Mark Woodward, menilai ajaran toleransi Sunan Kudus yang menarik adalah pelarangan menyembelih sapi. Waktu itu, Kudus merupakan daerah taklukan Kerajaan Demak dari Kerajaan Majapahit. Sebagian besar warganya beragama Hindu. Untuk menghormati mereka, Sunan Kudus meminta para pengikutnya tak boleh menyembelih sapi.

”Sampai sekarang, ajaran itu masih dianut masyarakat Kudus,” kata Mark. Artinya, Sunan Kudus ingin setiap pemeluk agama bergandengan tangan membangun kesucian dengan keyakinan dan cara masing-masing. 

Sumber dari sini.

Post a Comment

0 Comments