Menyebut ilmu falak, mungkin bagi sebagian umat Islam masih terasa asing di telinga. Ilmu falak adalah suatu ilmu yang mempelajari lintasan benda-benda langit, khususnya bumi, bulan, dan matahari pada orbitnya masing-masing dengan tujuan agar dapat diketahui posisi benda-benda langit antara yang satu dan lainnya, sehingga dapat diketahui pula peredaran waktu di permukaan bumi.
Ilmu ini disebut pula dengan ilmu perbintangan atau astronomi, karena menghitung atau mengukur lintasan bintang-bintang. Ia biasa juga disebut dengan ilmu hisab, karena dipergunakan perhitungan. Kata lainnya adalah ilmu rashd, karena memerlukan pengamatan, atau ilmu miqat yang mempelajari tentang batas-batas waktu.Di dunia Islam, istilah ini sudah sangat familiar. Bahkan, banyak ilmuan Muslim yang mampu melakukan perhitungan secara cermat dan teliti sehingga dapat diketahui ukuran waktu di suatu tempat.
Dalam Islam, ilmu ini sangat berkaitan erat dengan penanggalan (kalender), waktu shalat, arah kiblat, dan gerhana. Untuk penanggalan (kalender) ini, Islam mengenal berbagai istilah penanggalan, di antaranya kalender Masehi dan Hijriah. Umumnya, penanggalan Hijriah menggunakan masa edar bulan atau disebut pula dengan penanggalan Qomariyah (bulan). Sedangkan penanggalan Masehi biasanya menggunakan penanggalan Syamsiyah (menghitung waktu berdasarkan masa edar matahari).
Bagi sebagian orang, ilmu ini dikenal sangat rumit. Sebab, dibutuhkan perhitungan-perhitungan dan pengamatan yang cermat dan teliti, sehingga menghasilkan perhitungan yang sesuai (tepat). Karena itu, acapkali terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam menentukan waktu yang sesuai dengan yang sebenarnya. Dan hanya orang-orang yang telaten, rajin, dan giat yang mampu dan mau berkecimpung dalam bidang ini.
Di Indonesia, terdapat sejumlah tokoh yang sangat mumpuni dalam bidang ilmu falak ini. Salah satunya adalah KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi, seorang ulama asal Kudus, Jawa Tengah. Ulama kelahiran Kudus, 10 Maret 1915, ini dikenal sebagai 'gurunya para ahli ilmu falak Indonesia'. Kepakarannya dalam bidang ini sudah tak diragukan lagi, mengingat keilmuan dan kapasitasnya yang dalam menekuni ilmu falak. Karena kepakarannya itu, Kiai Turaichan biasa disapa dengan Mbah Turaichan diberikan jabatan sebagai Ketua Markas Penanggalan Provinsi Jawa Tengah.
Mbah Turaichan adalah putra Kiai Adjhuri dan Nyai Sukainah. Sejak masa kanak-kanak, ia dibekali dengan pendidikan agama yang sangat matang. Ia belajar melaui sistem tradisional masyarakat yang telah turun-temurun dijalani keluarga dan teman-teman di sekitarnya. Ia mengaji pada para Kiai dan ulama di sekitar tempat tinggalnya secara nonformal dan sempat mengenyam pendidikan formal di daerahnya selama dua tahun.
Unik
Mbah Turaichan terbilang seorang ulama yang unik. Namun, ia juga sangat luar biasa. Bila seorang 'calon ulama' dan anak seorang kiai diharuskan belajar pendidikan agama di pondok pesantren (pendidikan informal), sepanjang hidupnya Mbah Turaichan tak pernah mengecam pendidikan pesantren, dalam arti 'mondok' (menetap) sebagai seorang santri yang diasramakan di lingkungan pesantren.
Kebiasaan ini terbilang tidak lazim, kendati di pesantren dikenal dengan istilah santri kalong, yaitu santri yang belajar di pesantren, namun setelah belajar pada hari itu mereka kembali lagi ke rumahnya.
Mbah Turaichan hanya mengenyam pendidikan formal selama dua tahun, yakni ketika berusia 13 hingga 15 tahun. Tepatnya di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS), Kudus, sekitar tahun 1928, yakni sejak madrasah tersebut didirikan. Namun, karena kemampuannya yang dianggap melebihi rata-rata, maka ia diminta untuk membantu pelaksanaan belajar-mengajar di madrasah tersebut. Namun demikian, ia juga masih sempat belajar pada ulama lainnya secara nonformal.
Sejak mengajar di Madrasah TBS Kudus inilah, Kiai Turaichan giat belajar ilmu falak dan kemudian secara terus-menerus menekuninya, sehingga sangat mahir dalam bidang ini. Berbagai hal berkaitan dengan bidang ini, perhitungan dan pengamatannya terbukti tepat, kendati hanya dengan mengandalkan pengamatan pada peredaran benda-benda langit (ru'yah al-hilal).
Tak heran, bila kemampuannya ini kemudian ia tularkan pada para anak didiknya. Namun demikian, sebagaimana sulitnya dalam mempelajari ini, tak banyak anak didiknya yang 'benar-benar' mumpuni sebagaimana kemampuan Mbah Turaichan. Karena kepakarannya itu, maka ia dijuluki oleh para santrinya sebagai 'gurunya para ilmu falak Indonesia'.
Kemampuan yang dimiliki Kiai Turaichan, digunakannya sebagai media dakwah sekaligus membantu umat dalam memecahkan persoalan-persoalan yang rumit berkaitan dengan ilmu falak ini.
Tercatat, tokoh ini pernah menjabat dan terlibat dalam Lajnah Falakiyah PBNU. Bahkan, ia seringkali terlibat dalam diskusi-diskusi yang intens berkaitan dengan bidang yang satu ini, baik tingkat lokal maupun nasional. Dalam berbagai forum muktamar Nahdlatul Ulama, Kiai Turaichan acap kali terlibat dalam diskusi yang serius dengan tokoh lainnya. Dengan argumentasi yang tepat dan mumpuni, kalangan ulama senior sangat mengandalkan keahliannya. Ia seringkali dilibatkan dalam forum yang lebih tinggi saat membahas bidang ilmu falak.
Dan karena keahliannya ini, tak jarang pendapatnya berbeda dengan kebanyakan pandangan ulama, termasuk di PBNU. Namun demikian, ia tetap kukuh pada pandangan dan pendapatnya itu. Sebab, ia yakin, pendapatnya itu benar, berdasarkan ilmu, pengamatan, dan kondisi alam yang ada. Dan terbukti, pendapat-pendapatnya lebih banyak yang sesuai dengan kenyataan.
Di sidang
Kendati berbeda pandangan, Kiai Turaichan tetap menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang sering menolak keputusannya. Bahkan, ia juga selalu bersikap akomodatif pada pemerintah, walaupun pemerintah pernah beberapa kali mencekalnya. Pencekalan dilakukan karena Kiai Turaichan mengeluarkan pernyataan berbeda dengan pemerintah perihal penentuan awal bulan Syawal.
Ia pernah sidang ke pengadilan pada 1984, ketika menentang perintah pemerintah untuk berdiam diri di rumah saat terjadi gerhana Matahari total pada tahun tersebut. Alih-alih menaati perintah itu, ia justru mengajak umat untuk melihat peristiwa tersebut secara langsung dengan mata kepala telanjang.
Pada waktu terjadi peristiwa gerhana Matahari total tersebut, ia memberi pengumuman kepada umat Muslim di Kudus, bahwa gerhana Matahari total adalah fenomena alam yang tidak akan menimbulkan dampak (penyakit) apa pun bagi manusia jika ingin melihatnya, bahkan Allahlah yang memerintahkan untuk melihatnya secara langsung.
Hal ini dikarenakan redaksi kabar mengenai fenomena alam itu menunjukkan keagungan Allah ini difirmankan oleh Allah menggunakan kata abshara , yang berarti melihat secara langsung dengan mata, bukan makna denotatif seperti mengamati, meneliti, dan lain-lain, meskipun memang ia dapat berarti demikian secara lebih luas.
Pada hari terjadinya gerhana Matahari total di tahun tersebut, Kiai Turaichan tengah berpidato di Masjid al-Aqsha, menara Kudus. Di tengah-tengah pidato, ia mengajak jamaah untuk menyaksikan langsung gerhana tersebut.
''Wahai Saudara-saudara, jika kalian tidak percaya, maka buktikan. Sekarang peristiwa yang dikatakan menakutkan, sedang berlangsung. Silakan keluar dan buktikan, bahwa Allah tidak menciptakan bala atau musibah darinya. Silakan keluar dan saksikan secara langsung!''
Maka, para jamaah pun lantas berhamburan keluar, menengadah ke langit dan menyaksikan secara langsung dengan mata kepala telanjang terjadinya gerhana Matahari total. Setelah beberapa saat, para jamaah kembali ke tempatnya semula, dan Kiai Turaichan melanjutkan pidatonya. Dan faktanya, memang tidak terjadi apa-apa, termasuk musibah yang didengungkan oleh pemerintah.
Namun karena keberaniannya ini, Kiai Turaichan harus menghadap dan mempertanggungjawabkan tindakannya di depan aparat negara yang sedemikian represif waktu itu. Meski demikian, sama sekali ia tidak menunjukkan tabiat mendendam terhadap pemerintah.
Bahkan, hingga menjelang akhir hayatnya pada 20 Agustus 1999, ia termasuk ulama yang sangat antusias mendukung undang-undang pencatatan nikah oleh negara yang telah berlaku sejak 1946. Kiai Turaichan sangat getol menentang praktik-praktik nikah siri atau di bawah tangan.
Menurutnya, selama hukum pemerintah berpijak pada kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka wajib bagi seluruh umat Muslim yang menjadi warga negara Indonesia untuk menaatinya. Artinya, pelanggaran atas suatu peraturan (undang-undang) tersebut adalah juga dihukumi sebagai kemaksiatan terhadap Allah. Demikian pun menaatinya, berarti adalah menaati peraturan Allah.Hal inilah yang membuat kharisma dan kealiman Kiai Turaichan semakin diperhitungkan. Tak heran, bila namanya sangat masyhur sangat ahli ilmu falak yang sangat disegani.
'Lokalitas NU'
KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi dikenal sebagai ulama ilmu falak yang sangat karismatik. Ia pernah ditunjuk menjabat sebagai Ketua Lajnah Falakiyah PBNU. Di tingkat cabang Kabupaten Kudus, Ia pernah menjabat sebagai Rais Syuriah NU.
Kiai Turaichan juga pernah terlibat dalam dunia politik di tingat pusat. Beberapa kali ia ditunjuk menjadi panitia Ad Hoc oleh pimpinan pusat Partai NU. Selain itu, ia juga dipercaya menjadi qadli (hakim) pemerintah pusat pada tahun 1955-1977.
Di organisasi Nahdlatul Ulama, Kiai Turaichan seringkali terlibat dalam forum-forum diskusi dan bahtsul masail (membahas permasalahan umat), terutama bidang yang menjadi spesialisasinya. Namun, pada saat terjadi perubahan asas dasar NU dari asas Ahlussunnah wal Jamaah menjadi asas Pancasila, dia menyatakan memisahkan diri dari keorganisasian NU.
Meski telah menyatakan memisahkan diri secara keorganisasian, namun ia tetap dipercaya sebagai Rais Suriyah di tingkat cabang. Sedangkan untuk tingkat pusat, ia tidak lagi aktif seperti sebelumnya. Karenanya, Kiai Turaichan kemudian mempopulerkan istilah 'Lokalitas NU' yang berarti tetap setia untuk memperjuangkan organisasi NU dalam skala lokal, yakni di NU cabang Kudus saja.
Sumber: NU Online
0 Comments